8. Kesurupan

124 2 0
                                    


~ Annyeonghaseyo yeorobun :"). Habis liburan dari Korea nih, makanya lama ngga update wkwk. Aku muncul lagi gapapa kan? Yaa walaupun hampir tengah malam, dengan judul yang sedikit mengerikan. Tapi, isinya lumayan kocak kok. Kayak yang nulis whehehe. Penasaran ngga? Iya aja deh yaa, aku maksa pokoknya. Tapi berhubung masih dalam suasana lebaran aku juga mau ngucapin "Mohon Maaf Lahir & Batin yaa". Maaf apabila sejauh aku mengarang cerita ini, ada kata-kata yang kurang pantas atau kurang berkenan dsb. Udah sementara gitu aja dulu, selamat membaca yups ~

***


Aku dengan cepat membawa pergi syal dari Mas Khrisna. Sedikit berlari, iya lari dari kenyataan maksudnya. Karena kenyataannya, aku ingin sekali membalas tatapannya yang menenangkan itu. Bola mata cokelat, alis yang cukup tebal, dan satu lagi yang berhasil mencuri perhatian. Gigi gingsul yang semakin membuat senyumnya menawan. Aaaaa, semakin ngga karuan.

Setelah sekian jauh berlari, kurasa Mas Khrisna tidak bisa melihatku lagi. Aku memutuskan berhenti. Duduk sebentar, sambil memakai syal yang ia beri. Sembari menegok kanan-kiri, memastikan kondisi aman terkendali. Ku amati syal yang kini melingkar di leherku, dan kemudian senyum-senyum sendiri.

"Kak Daraa!" panggil seorang adik kelas peserta Persami. Ia berada sekitar 10 meter di seberang sana, sambil melambaikan kedua tangannya. Tepat di belakang tempat ia berdiri, kudapati ada kerumunan yang aneh. Persis di dekat tenda sekretariat Panitia. Entah ada apa di sana.

Aku berdiri, sambil membersihkan rumput kering yang menempel di rokku. Lalu menuju ke kerumunan itu. Belum sampai di langkah ke lima, ada yang menahan lenganku dari belakang. Aku berhenti, dan sedikit kaget. Saat kutoleh ke belakang, lagi-lagi Mas Khrisna lagi. Ia melepaskan tangannya, dan menyuruhku untuk tetap di sini.

"Kamu ngga akan tega melihat apa yang di depan sana, Ra. Biasanya juga kamu takut ngadepin yang begini. Lebih baik kamu diam di sini. Biar aku saja yang pergi" lanjutnya.


"Emang di depan, ada apa Mas?"tanyaku penasaran.

"Vina kesurupan" tandasnya. Ia lanjut berlari, ketika ada teriakan minta tolong dari seberang sana. Aku mengamatinya dari jauh. Dan yaa, benar saja. Aku memang sedikit takut dan ngga tegaan melihat orang yang kesurupan. Selain tingkahnya yang ngga wajar, aku pasti akan terngiang-ngiang kalau menyaksikan hal seperti ini. Seperti yang ku alami beberapa kali sebelumnya.

Sementara di seberang sana, terlihat ada Bapak Kepala Sekolah dan guru Agama yang sedang membacakan do'a-do'a sambil memegangi tangan dan kaki Mba Vina. Dibantu banyak panitia, termasuk Mas Khrisna. Kekuatan Mba Vina saat ini memang lain dari biasanya. Dari kejauhan saja, aku juga sudah bisa menerka suasana di sana.

Adzan maghrib terdengar, aku berinisiatif mengambil alih peran Mba Vina dalam mengkoordinir waktu ISHOMA (Istirahat, Sholat, Makan). Para peserta dipandu oleh teman-teman panitia lainnya, untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu.

Setelah itu, dilanjutkan makan malam bersama-sama. Ketua regu mewakili anggotanya untuk mengambil jatah makanan, dan selanjutnya makan malam dilakukan di dalam tenda masing-masing.

Namun pemandangan indah itu tercipta, ketika sesama peserta berbagi makanan serta cemilan ke tenda sebelah-sebelahnya. Kebersamaan yang luar biasa. Layaknya implementasi poin kedua dalam Dasa Dharma Pramuka : Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.

Aku mengabadikannya dalam kamera ponsel. Sebagai dokumentasi serta kenang-kenangan. Lalu aku mencoba, mengambil dari sudut yang lain. Dan tiba-tiba yang tertangkap masuk ke dalam layar adalah wajah Mba Vina. Sontak aku teriak. Ponselku terjatuh, dan aku mencoba lari dari posisiku berdiri.

"Ampuuuun" jeritku sambil berlari. Tiba-tiba aku menabrak sesuatu, dan itu Pak Budi, Kepala Sekolahku. Begitu malunya aku.


"Maaf, Pak Budi. Saya tidak melihat kalau Bapak ada di depan saya, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf, saya tidak sengaja menabrak Bapak" jelasku.

"Iya, ndak apa-apa Nduk. Tapi, kamu ini lari-lari ada apa toh? Udah kayak dikejar setan aja" tanya pak Budi heran.

"Ituu, bukan setan pak. Tapi orang yang kesetanan. Eh, Mba Vina maksud saya pak. Saya ngeri melihat kejadian tadi" jelasku lagi.

"Oh, itu Vina sudah sembuh dari tadi. Setannya cuman iseng pas lihat Vina kebanyakan bengong. Yaudah, sekarang mah dia udah ngga kenapa-napa, Nduk. Balik lagi coba, ke sana. Kamu berdosa banget, lari-lari sehabis lihat teman sendiri" timpal Pak Budi sambil tertawa kecil.

"Iya pak, baik. Saya akan balik ke sana sekarang, mau minta maaf juga ke Mba Vina. Ngga enak soalnya, pasti dia juga mikir yang aneh-aneh hehe. Kalau begitu, saya permisi dulu pak" pamitku pada Pak Budi. Kemudian berbalik arah, kembali menuju ke sekretariat panitia. Semakin dekat, kudengar jelas suara teman-teman panitia, mereka tertawa-tawa. Tentu saja aku objeknya.

"Kamu dari mana sih, Ra? Malam-malam gini, masih aja jogging" tanya Mas Raka, rekan panitia lainnya. Dan lagi, disambut tawa seisi sekretariat.

"Sudah, sudah. Kasihan Dara" sergah Mba Vina.

"Ututuuu, makasih Mba Vina. Maafin Dara juga ya, tadi tiba-tiba lari sehabis lihat Mba Vina.
Dara reflek soalnya" ucapku sembari mengambil tempat duduk di dekat Mba Vina.

"Mba Vina, baik-baik aja kan sekarang?" tanyaku.

"Seperti yang kamu lihat sekarang, Ra. Aku sudah sadar, dan aku Vina sungguhan. Bukan apa yang kamu fikirkan beberapa menit yang lalu" jelasnya sambil menepuk pundakku.

"Syukurlah, Mba kalau begitu. Maaf juga tadi sore gabisa ikut membantu. Aku takut" ungkapku sambil nyengir.

"I know you so well, Ra. And it's okay. Masih ada Khrisna yang tetap siaga" jawabnya dengan tersenyum.

"Aku senang, ditolong sama dia. Gercep, sat-set, idaman deh pokoknya. Pas tadi sadar, kirain aku lagi bermimpi. Ngga nyangka banget dia ada di samping aku. So sweet deh aaaa!" cerita Mba Vina.

"Hmm, Mba Vinaa" balasku singkat. Dan kali ini, dengan agak senyum kecut. Entah kenapa, rasanya seperti habis makan jeruk purut.


Bicara mengenai Mas Khrisna, aku belum bertemu lagi dengannya. Semenjak peristiwa petang tadi.

Di mana, kira-kira ia menyembunyikan batang hidungnya? Aku mencoba mengamati sekelililing, dan tentu saja, kudapati dia di sudut sana. Senyum-senyum sambil sedikit menunduk. Kau tahu apa yang sedang, diperbuatnya? Memandangi layar ponsel yang tidak lain adalah ponselku. Maaati aku!



Yang Sudah Tertakar tidak akan TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang