~ Selamat datang di Indoma'read' selamat membaca hehe. Jangan lupa kasih vote dan comment- nya ya. 1 vote sangat berharga. 1 comment memberi jariku tambahan nyawa untuk semangat berkarya. Hatur Tengkyu atas kunjungannya. ~
*Edit : Hayuk dong reader, tembus 40 lanjut ke part 2 nih. Sekali lagi makasih semuanya, jadi nambah semangat🥰
***
Namaku Dara, lengkapnya Dara Pandita. Orang-orang sering memanggil dengan nama kecil yaitu Biting (dalam bahasa Jawa : lidi, atau sama konotasinya dengan berbadan kurus alias kerempeng). Inilah aku, si bungsu dari keluarga sederhana, yang selalu menemukan alasan untuk bahagia. Mulai dari hal yang terkecil dan cukup sederhana, bersyukur misalnya. Sekecil apapun tubuhku, kenyatannya masih kokoh berlari melawan semilir angin di bawah lereng gunung di desa kami.
Sekarang aku adalah anak SMP. Detailnya, berperawakan tinggi cungkring, rambut keriting, ngeyelan, dan ambisius dalam mendapat serta mempertahankan rangking. Selama SD, selalu mendapat rangking satu, dipuji bapak ibu beserta guru, lalu mendapat hadiah buku tulis, sebuah kebahagiaan tersendiri bagi gadis lugu sepertiku. Berarti juga kebahagiaan bagi bapak ibu, karena selama 6 tahun tak perlu repot-repot membelikanku buku tulis baru.
“Bagaimana hari pertama masuk SMP, Nduk?” tanya bapak ketika melihat peri kecilnya pulang dengan wajah kelelahan, padahal yang ditanya sendiri merasa cukup senang. Bagaimana tidak? Aku berhasil menuntaskan tantangan pertama ketika masuk SMP dengan sangat baik. Yakni sampai di rumah kembali dalam keadaan sehat wal afiat, setelah berjalan kaki selama pulang pergi (PP) sekitar 2,8 kilometer.
Jarak rumah kami memang cukup jauh dari SMP tempat aku melanjutkan pendidikan. Itupun sudah SMP terdekat dari rumah, dan beruntungnya SMP tersebut adalah SMP terbaik dari 9 SMP/MTs yang ada di kecamatan kami. Adapun mengenai alat transportasi, angkutan umum di desaku, tepatnya yang melewati jalur rumah menuju SMP masih sangat terbatas jumlah dan jam terbangnya.
“Seru, Pak. Banyak temannya. Ndak kaya teman SD yang cuma 18 biji,” jawabku, sembari melepas sepatu dan kaos kaki. Bapak melepaskan tas dari pundak mungilku sambil bertanya, “Terus, kelasnya udah dibagi-bagi?.” Dengan semangat, aku mulai berbagi cerita.
“Sudah, Pak. Aku kebagian kelas 7G. Kelasnya itu ada di ujung paling belakang, jauh sih tapi untungnya berdekatan sama kantin. Jadi, kalau besok-besok tenaga terkuras sebelum sampai di kelas bisa diisi ulang dulu di kantin. Terus Pak ya, teman-teman pada unik semua, ada yang gedenya sebagor gini (tanganku sambil menirukan gaya malas-malasan ketika merentangkan tangan sebelum senam).
Ada yang tingginya kaya tiang listrik. Ada juga yang wajahnya begitu ganteng dan cantik. Dan sisanya, aku lupa hehe.”“Jangan-jangan, kamu yang paling kecil?” ledek bapak diiringi rasa penasaran. Tapi aku tersenyum licik, karena merasa menang dan punya alasan kuat untuk mengatakan tidak.
“Ndak juga sih Pak, ada temannya. Malah kecilan dia daripada Dara. Alhamdulillah, uhh akhirnya terbebas juga dari julukan yang selama ini membuat kesal”.
“Makanya, kalau dimasakin ibu pake lauk telur tuh dimakan. Biar badannya nambah bulat dikit. Ndak kaya biting (lidi, konotasi dari tubuh yang sangat kurus), gitu. Untung sayang” ledek bapak lagi, kali ini sambil mengacak-acak ikatan rambutku.
Aku hanya menautkan jari jempol dan telunjuk tangan kanan, membentuk sebuah lingkaran. Sementara 3 jari lainnya tetap tegak di tempatnya. Memberi isyarat bahwa aku mengerti, meskipun masih belum ingin mencobanya lagi.
Begitulah, aku ngga suka telur entah dari kapan. Ditanya perihal alasan, sama sekali ngga bisa memberi jawaban. Kecuali, ya karena memang ngga suka saja. Kalau boleh berorientasi mah begini, pasti di dunia ini ada beberapa hal yang tidak bisa serta-merta dipaksa. Namun, bukan berarti aku tidak mengakui keberadaan dan selalu berusaha menghargainya. Biar semakin jelas, aku beri contoh gambarannya.
Iya memang aku ngga suka telur, tapi 'kan tetap doyan melahap masakan daging ayam. Lalu, bukankah ayam berasal dari telur yang menetas? Dan semua itu hanya menunggu waktu. Waktu di mana telur berubah menjadi ayam. Dan di sisi yang lain, aku juga menunggu keajaiban waktu yang nanti bisa mengubah menjadi seorang penyuka telur. Jadi apapun itu, aku setuju dengan pepatah di luar sana. Semua akan indah, tepat pada waktunya.
Sore ini aku mulai mempersiapkan buku-buku untuk proses pembelajaran beberapa hari ke depan. Berdasarkan agendanya, 3 hari mulai besok adalah waktu pelaksanaan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang belum terbayang itu akan seperti apa. Menurut cerita kakakku, mas Alif namanya, itu adalah bahasa lain dari dikerjain kakak kelas, tapi aku sangat ragu tentang kebenarannya sebelum mengalami sendiri besok pagi.Apalagi, kalimat itu keluar dari mulut mas Alif. Dia adalah penyandang peringkat satu dalam daftar nama orang yang tidak dapat aku percaya. Mana mungkin semudah ini untuk termakan omongannya.
Setelah 3 hari, MOS pun berakhir. Banyak agenda yang telah kami lakukan dengan tujuan agar siswa baru mendapat tambahan wawasan dan lebih mengenal lingkungan sekolah serta teman-teman lainnya. Berhubung agendanya sudah berakhir, kalau boleh menyimpulkan, kali ini omongan mas Alif ada benarnya. Malah hampir benar sepenuhnya. Tapi itu tidak akan pernah menggeser gelarnya di daftar yang sudah kubuat. Tidak akan.
Selama hidup kurang lebih 13 tahun, bahkan aku sudah merasa dibohongi lebih dari 5 kali umur. Setidaknya, tiada keinginan bahwa mas Alif juga akan membuat daftar nama orang yang mudah dibohongi, dengan menempatkan aku di posisi pertamanya. Kalaupun sudah terlanjur, akan kupastikan daftar itu kadaluarsa secepatnya.
Awal beradaptasi di lingkungan SMP, aku merasa bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, perlahan ada yang mulai mengganggu pikiran. Persaingan terasa semakin ketat, aku mulai merasa kalah dalam kecakapan dan penampilan. Minder dengan mereka yang rupawan dan dari keluarga terpandang. Bahkan tidak jarang, ketika pelajaran berlangsung, tiba-tiba ada guru yang dengan blak-blakan menyatakan bahwa beliau dan orangtuanya mempunyai hubungan akrab.
Sebut saja Irfan Maulana, ia anak seorang kepala desa terpandang dari desa tetangga. Kurasa hanya butuh hitungan hari menuntut ilmu di sini, untuk memastikan bahwa tak seorangpun yang tidak mengenalinya. Ia berperawakan tinggi besar, cakap dan sudah pasti terpilih untuk dijadikan sosok ketua kelas.Satu lagi, kata teman-temanku, ia berparas tampan dan memiliki kharisma. Tapi bagiku, belum ada yang bisa mengalahkan kharismanya pak Imam Mahdi, guru mata pelajaran Matematika. Walaupun, satu kelas ngga bakalan ada yang setuju dengan pendapat barusan.
Mereka bilang itu terlalu konyol. Mana mungkin mereka akan sependapat, bahkan ketika beliau masih dalam perjalanan menuju kelas, teman-teman sudah berkoar-koar bahwa kiamat sudah dekat. Kalau melihat reaksi mereka, kurang berkharisma bagaimana coba pak Imam Mahdi ini?gumamku di dalam hati.Iya memang, munculnya Imam Mahdi merupakan salah satu tanda-tanda kiamat. Mereka ngga salah, tapi pendapatku juga tidak akan goyah. Aku tahu diri jika berbeda dengan yang lain, tapi itu tak mengurangi ketertarikan pada pelajaran Matematika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Sudah Tertakar tidak akan Tertukar
Novela JuvenilDara adalah gadis dengan kisah hidup yang penuh kejutan. Sikap ngeyel dan ingin tahu, berhasil membawanya terbang sekaligus jatuh rebah hingga ke tanah di saat yang hampir bersamaan. Banyak pelajaran yang ia dapat untuk kemudian dibagi dalam bentuk...