8. Keponakan Menggemaskan (2)

6.7K 74 1
                                    

“Tenang Jang, ndak pernah ngerokin orang ya?  Kok kayak ngerjain ujian, sampai keringatan gitu,” cetusku sembari tersenyum manis.

“Per-pernah, Mbak.”

“Apanya yang pernah?  Ngerokin orang atau melihat dada mulus orang?"

“Ngerokin orang, Mbak.”

“Lihat susu orang belum?”  waduh, sepertinya aku mulai kelewat batas nih.

Ujang semakin gugup kugoda, mana tanganku terus mengelus pahanya .. mendekati mililnya.

“Per-pernah, tapi bukan kayak punya .. Mbak.”

“Ndak semontok gini?”

Ujang menggeleng polos, “Yang saya lihat punya bapak, Mbak.”

Aku tergelak keras, kuremas miliknya lembut.  Dia berjengkit kaget, menatapku bingung.

“Mmmbaakkkk?”

“Pantasan burungmu tegang,” kukedipkan sebelah mata, dia ternganga lebar dengan pipi semakin merah.
 
“Ma-maaf, Mbak.”

“Kok minta maaf terus toh?  Ini wajar toh, kamu cowok normal.  Kalau ndak ngaceng malah Mbak curiga kamu ndak normal.”

Ujang diam saja aku terus mengelus burungnya, apa dia ndak sadar atau keenakan?  Burungnya semakin membesar.  Waduh gemas.  Heran, sejak diperkosa oleh maling yang jelek tapi itunya besar .. aku jadi semakin binal.  Mudah horni, gawat!  Sampai keponakan sendiri juga mau diembat.  Aku jadi merasa bersalah .. aku benar-benar istri durhaka.  Kutarik tanganku, tapi ada yang menahannya.

Aku menatap Ujang yang memandangku malu-malu.

“Terus Mbak, enak ...”

Aduh, ini godaan.  Jang, kamu benar-benar telah membuatku khilaf.  Aku duduk, mendekatinya sembari menatapnya lekat.

“Mau yang lebih enak, Jang?” bisikku sensual.

“A-aapahhh, Mbak?” sahut Ujang dengan tatapan malunya yang tertuju ke payudaraku.

Dia terpana ketika bibirku melumat bibirnya, memagutnya gemas.

Mungkin ini ciuman pertamanya, dia diam saja tak tahu harus berbuat apa.  Bibir Ujang yang tak masih murni dan tak pernah terkena racun nikotin terasa manis.  Membuatku kecanduan.  Kuhisap rakus, kugigit pelan.  Dia melenguh .. saat mulutnya terbuka aku memasukkan lidahku kedalam.  Kupilin kuat lidahnya. 

Ujang tegang, burungnya yang kuules-elus dari tadi semakin membesar dan menegang.  Dari luar celananya bisa kurasakan ujungnya lembap, dia telah mengeluarkan cairan precumnya. 

“Rileks, Jang.  Nikmati saja,” desisku menggoda. 

“I-iya Mbak ...”

Kali ini Ujang mulai membalas ciumanku, masih kaku sekali awalnya.  Tapi lama kelamaan lumayan.  Dia belajar dengan cepat.  Jadi greget dengannya, kutarik tangannya .. kutaruh di bulatan payudaraku.

Dengan menggunakan insting alaminya, tangannya tahu harus berbuat apa.  Dia meremas payudaraku, walau semula ragu namun mendengar desahanku dia semakin yakin melakukannya.

“Kamu pernah nyusu, Jang?” tanyaku menggoda.

“Pernah, Mbak.  Tapi sudah ndak ingat, pas Ujang masih bayi.”

Aku tergelak mendengar jawaban polosnya, gemas sekali melihat keluguan perjaka cilik ini. 

“Malam ini anggaplah kamu bayi Mbak, sini kususui ...”

Kutarik kepalanya ke dadaku,  mata Ujang membulat ketika mulutnya kusumpel dengan puting payudaraku.  Dia diam, dengan gemas aku menepuk pipinya.

“Bayi besarku ndak tahu caranya menyusu?  Kenyot Jang!”

Mulutnya mulai bergerak, mencecap puncak payudaraku.  Rasanya geli, namun menimbulkan desir aneh di dadaku.  Aaahhhh, Ujang .. kamu sungguh menggemaskan,  kurapatkan kepalanya ke dadaku, kuremas-remas rambutnya sementara dia semakin lahap menyusu di dadaku.

Saking gregetnya, tanganku yang lain mulai mengocok burungnya.   Semakin lama semakin cepat kocokanku, membuat Ujang menggerang.  Urat-urat di batang penisnya semakin nampak, berdenyut-denyut dan terasa memanas di tanganku. 

Kami terus saling memuaskan, hingga limabelas kemudian dia menjadi belingsatan.

“Mbak, Mbak, mbak .. awas, Ujang pengin pipis!”

Aku terkekeh geli.  Ya ampun polosnya anak ini.
“Jang, itu bukan pipis,  keluarin saja biar enakan dan lega.”

Aku menarik wajahnya, kucium bibirnya rakus.  Dia membalasnya cepat, mungkin untuk menyalurkan hasratnya yang membludak.

Ciumannya lebih liar dari sebelumnya, terasa dia menegang.  Lantas ..

Crot!  Crot!  Crot!

Dia memuntahkan amunisi pertamanya.  Wajahnya memerah, menatapku malu.

“Ma-maaf Mbak, jadi mengotori tangan Mbak.”
Aku terkekeh geli, kujilat tanganku yang terkena cairan cintanya.  Ini pejuh perjaka, anyir tapi enak juga.

“Mmmbbaakkk, kok di maem?  Kotor ...”

“Kotor apanya, itu protein Jang.  Bisa bikin awet muda,” aku nyengir, sementara dia tersipu malu.

Biarlah, sementara disini dulu.   Aku tak tega langsung menodai perjaka volos ini.

Selanjutnya?

Hmmmm, kita lihat saja.  Habis kamu menggemaskan, Jang ...

==== >(*~*)< ====

Bersambung

Selanjutnya?

Yang penasaran beli e-booknya dong.

Sudah tersedia di Google playstore dengan harga amat terjangkau. Tunggu apalagi?

Link ada di PROFILKU ya.

38. Bukan Istri Idaman (21+) TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang