2-1 : Ujang Kembalj

3.1K 38 1
                                    

BUKAN ISTRI IDAMAN #2 telah tersedia di Google playstore.

Dapatkan dengan harga amat terjangkau.

linknya ada di profilku.

Hepi reading.

❤️❤️❤️
.
.

Akhirnya Ujang kembali.

Meskipun molor dari janjinya.  Setelah 40 hari bapaknya meninggal, Ujang ndak kembali pada kami.  Dia bilang mau menyelesaikan satu semester sekolahnya.

Jadi dia kembali pada awal ajaran baru, di sekolah barunya.  Sekarang Ujang sudah menjadi siswa SMA.  Dia sekolah ndak pakai celana pendek biru lagi.  Dengan mengenakan celana panjang abu-abu, Ujang nampak semakin dewasa.  Apalagi sekarang auranya jadi beda.  Ndak ada lagi tampang lugu di wajahnya, dia selalu memasang tampang datar mirip tembok .. tapi kok ya membuatnya semakin maskulin.

Aku kangen padanya, tapi terpaksa kutelan rasa rindu itu. Sikap Ujang padaku sangatlah ketus, bahkan ia cenderung mengabaikanku.  Beda dengan sikapnya pada Mas Herman yang menaruh segan. 

“Jang, ini terimalah uang saku buat beli jajan di sekolah.” 

Mas Herman menyodorkan sehelai uang limapuluh ribuan, namun Ujang menolaknya halus.

“Ndak usah Lek.  Ujang ada sedikit uang kok, nanti kalau uang Ujang habis baru minta.”

Aku meragukan kalau dia bakal minta, kurasa tabungan Ujang sekarang lumayan banyak.  Hasil dari warisan bapaknya yang baru meninggal, juga ada uang dari penjualan rumah dan sawahnya di desa. 

“Dek, kamu nanti ke sekolah Ujang toh?  Bukannya ada panggilan dari guru Ujang?”

Mas Herman mengalihkan tatapannya padaku.  Matanya berbinar memandangku yang tengah menyusui anak kami, Putra Herman Santoso. 

Dia sangat menyayangi anaknya, padahal aku sendiri ndak yakin benih siapa yang membuahi diriku.  Yang jelas bukan dari Mang Udin.  Putra tampan dan berkulit bersih, bukan seperti Mang Udin yang hitam kucel.

Jangan-jangan dia anak biologis Ujang!

Diam-diam aku melirik pada Ujang, eh .. matanya nyalang menatap payudara montokku.  Olala, ternyata Putra sudah selesai menyusu.  Bayiku melepas nenenku, otomatis putingku yang membesar sejak melahirkan terpapar bebas buat siapapun yang melihatnya.  Aku sengaja membiarkannya, senang melihat pandangan mupeng Ujang padaku.  Sadar kuperhatikan, mata Ujang beralih menatapku.  Dia melengos seketika.

Ah, Jang.  Ternyata kamu ndak setangguh yang kukira. 

Ada peluang untuk memperbaiki hubungan kami, aku tergoda untuk mencobanya.

“Dek .. Dek, kok senyum-senyum sendiri toh?” tegur Mas Herman.

“Ndak, Mas.  Lihat Putra, lucu kalau tertidur habis kekenyangan nenen,” kilahku.

“Dia kenyang, bapaknya belum,” seloroh Mas Herman.

Aku pura-pura tersenyum malu, sama Mas Herman aku harus jaga image sebagai istri idaman yang alim toh.

“Bapaknya ngalah dulu ya, ini khusus buat bayi.  Atau anak kecil,” timpalku sembari melirik Ujang penuh arti.  Eladah, dia pura-pura ndak mendengar.  Tatapannya tertuju pada Mas Herman.

“Lek, Ujang berangkat ya.  Panggilan guru ndak penting kok, ndak usah datang ndak papa.”

“Eh, ndak bisa gitu Jang.  Bapakmu sudah nitipkan kamu sama Mas Herman loh.  Jadi kami wajib mengurusmu dengan baik.  Dek, kamu bisa toh datang ke sekolah Ujang?”

Tentu saja bisa, aku ndak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda Ujang.  Meski di sekolahnya.

“Bisa, Mas.  Nanti Putra kutitipkan sama Bu Imah,” sahutku cepat.

Mas Herman menghampiriku, lantas menggendong Putra.  Dia mencium gemas pipi gembil anaknya.

“Gantengnya kamu, Nang.  Anake sopo toh?” canda Mas Herman.

“Anaknya sapa Mas?” tanyaku sambil melirik Ujang penuh arti.  Dia mendengkus kasar.

“Ya anakku toh, Dek!  Kecuali kamu selingkuh, main gila sama laki lain!”

Bukan kecuali, Mas.  Itu memang sudah kejadian.  Batinku dalam hati. 

Tak sengaja pandanganku bertemu dengan tatapan nanar Ujang, apa dia memikirkan hal yang sama denganku? 

“Lek, Ujang berangkat ya,” pamit Ujang setelah membuang muka dariku.

“Iya Jang, ati-ati yo,” sahut Mas Herman tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah Putra.

Kesempatan dia ndak memperhatikanku, aku segera menyusul Ujang kedepan.  Sengaja ndak kukancing dasterku, sehingga payudara montokku mengintip bebas.

“Jang!”

Ujang menoleh, matanya membulat melihatku setengah berlari menghampirinya hingga payudaraku bergoyang sensual.  Memang semenjak menyusui, aku jarang memakai bra bila berada di rumah.  Lebih leluasa, dan nyaman.

“Ada apa?” tanya Ujang datar.

Aku menariknya ke pojok tempat kami dulu bermesum ria.  Mata Ujang mendelik geram. 

“Jangan bilang ...”

“Iya Jang, Mbak kangen sama kamu.  Kamu ndak tahu betapa kesepiannya Mbak selama kamu kembali ke desa.  Kamu ndak kangen Mbak?”

Kutarik tangannya dan kusentuhkan ke payudaraku, kugerakkan tangan Ujang hingga menguyel-uyel kedua gunung kembarku yang montok. 

“Ayo, Jang.  Remes, remes yang kuat .. aaahhhh ...”. desahku sembari menatapnya binal.

Tatapan mata Ujang meredup, tangannya bergetar pelan saat mulai meremas payudaraku.  Syukurlah, sepertinya dia bisa kutarik kembali ke pelukanku.  Rindu kamu, Jang.  Aku sering teringat pada masa-masa kemesraan kami dulu.  Kangen sama burung Ujang yang jumbo.  Tanganku spontan terulur ingin menyentuhnya, tapi Ujang menahannya.

“Jang ...” panggilku aleman.

“Ndak, kita sudah selesai!” tegas Ujang.

“Belum, Jang.  Kita masih memiliki perasaan satu sama lain toh,” bantahku.

“Ndak ada, yang penting buat Mbak hanya napsu toh,” sinis Ujang.

Aku tertegun, hanya bisa termangu melihat Ujang pergi dengan wajah muram.  Sampai kapan kamu marah padaku, Jang?  Tidak, aku tak mau menyerah.  Aku harus membuat Ujang mau memaafkanku. 

Bagaimana pun caranya!

==== >(*~*)< ====

Bersambung.

38. Bukan Istri Idaman (21+) TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang