7. Keponakan Menggemaskan (1)

7.8K 67 1
                                    

Chapter sebelumnya telah ditarik. 

Baca selengkapnya di ebook, tersedia di Google play store.  Link di profilku.  Harganya amat terjangkau kok.

HEPI reading.

❤️❤️❤️
.
.

Akhir-akhir ini Mas Herman sering melembur.  Untung ada Ujang, jadi hari-hariku tak sepi seperti biasanya.

Bicara tentang Ujang, dia memang masih SMP .. tapi secara fisik dia bongsor.  Mirip anak SMA.  Dan penampilannya setelah pindah kemari, kemudian kudandanin berubah total.  Ternyata Ujang ganteng, layak banyak yang suka.

“Dek, itu keponakannya boleh juga,” puji Bu Imah saat dolan ke rumah.  Matanya nyalang menatap Ujang yang tengah sibuk menyiram tanaman. 

“Boleh gimana, Mbak?  Rajin ya.”

“Iya, tapi maksud saya tampilannya oke juga.”

Aku jadi bangga, karena berkat diriku Ujang jadi lebih ganteng.  Aku yang membelikan dan memilihkan pakaian dan yang lain untuknya.  Juga potongan rambutnya aku yang milih modelnya. 

“Keponakan siapa dulu?” cengirku.

“Ohya, pamannya juga ganteng.  Dia keponakan Dek Herman toh.”

Narsisku tak berhasil.  Aku lupa dia keponakan Mas Herman, dan Bu Imah ini penggemar suamiku yang ganteng tapi sayang burungnya kecil.

“Yah begitulah, dia ganteng seperti pamannya,” senyumku kecut.

Mendadak Bu Imah berbisik di telingaku, “Dan istimewanya tititnya besar yo!”

Alisku naik sebelah, spontan aku memperhatikan selangkangan Ujang.  Pantas Bu Imah langsung mata hijau.  Celana pendek Ujang memang agak ketat hingga mencetak jelas bentuk kelaminnya.  Iya, besar banget.  Aku menelan ludah kelu. 

“Hayo, Dek Asri ndak ngiler tah serumah sama brondong cetar membahana gini?” goda Bu Imah.

Aku tersipu malu, “Mbak, dia keponakan saya loh.  Ngawur wae.”

“Keponakan sih keponakan.  Tapi tetap bikin seger mata toh lihat yang ranum model gitu?”  Bu Imah menunjuk selangkangan Ujang lagi.

Idih, membuat pikiranku jadi kotor saja.  Jadi membayangkan yang tidak-tidak.  Apalagi ketika mendadak selang air yang dipegang Ujang jatuh. Air menyemprot celananya hingga basah kuyup. 

Nikmat mana yang kau dustakan?  Burung Ujang tercetak semakin jelas, dan .. mengapa dia gak pakai dalaman?

Pikiranku kacau balau!

==== >(*~*)< ====

  “Janggggg!” panggilku dari dalam kamar.

Ujang menyahut dari luar pintu kamarku, “Iya Mbak, dalem.”

“Masuk, Jang,” pintaku dengan hati berdebar. 

“Ndak papa toh, Mbak?” tanyanya lugu.

“Ndak apa, Jang.  Kita kan keluarga.  masuk sini ...”

Uang melangkah masuk, dia melongo melihatku berbaring telungkup di ranjang berselimut lumayan tebal.

“Mbak Asri sakit?” tanyanya khawatir.

“Sepertinya masuk angin, greges.  Jang, tolong kerokin Mbak ya.  Mau toh?”

“Mmauuu, Mbak,” sahut Ujang grogi.

Kulambaikan tanganku, menyuruhnya mendekat.  Ujang melangkah dengan wajah menunduk malu.  Jadi gemas, ingin menggodanya terus.  Aku beranjak duduk hingga menyebabkan selimutku melorot.  Ujang memekik lirih melihat dadaku yang polos.
Wajahnya merah padam.

“Mbak, kok ..?”

“Kan mau dikerokin, Jang.  Yang dikerokin orangnya apa bajunya?” jelasku.

“Eh iya, benar juga,” Ujang menggaruk tengkuknya yang tak gatal.  Tatapan matanya tertuju kebawah, dia tak berani menatap padaku. 

“Nih, Jang kerokannya,” aku sengaja menyerahkan kerokannya agak jauh darinya.  Ujang tak berhasil menggapainya, spontan dia mengangkat wajahnya dan melihat langsung padaku .. dengan payudara indahku yang menggantung bebas.  Dia segera meraih kerokan yang ada ditanganku. 

“Duduk sini Jang.”  Kutarik tangannya, Ujang yang tak siap jadi terhuyung ke depan.  Kebetulan wajahnya nyungsep di dadaku.  Pipinya merah padam mirip kepiting rebus.

“Ma-maaf, Mbak.  Ujang ndak sengaja,” dengan polosnya dia minta maaf.

“Sengaja ndak papa kok, Jang.  Katanya pengin susu toh?” godaku.

“Bukan susu yang ini, Mbak,” ucapnya gugup.

Apalagi ketika menyadari jarinya telah lancang menyentuh salah satu gunung kembarku, dia berjengkit.

“Kalau susu yang ini ndak suka toh?” pancingku kenes.

“Su-susuka .. eh!”  dia menceples mulutnya yang jujur tapi dinilainya tak sopan.

Aku terkekeh geli melihat tingkahnya yang lucu.  Iseng kulihat bagian bawahnya, wow .. senjatanya mulai menegang.  Besar dan kokoh.  Aku menahan diriku untuk mengerjainya.

Kurebahkan diriku kembali telungkup diatas ranjang, selimut hanya menutupi bagian pinggang ke bawah.

“Jang, kerokinnya jangan terlalu keras ya.  Mbak ndak tahan sakit.”

“Iya, Mbak.”

Ujang mendekat, dia duduk di tepian ranjang lalu mulai mengeroki punggungku.

Aku melirik wajahnya, dia masih grogi.   Tanganku mengelus pahanya, dia terkesiap.

==== >(*~*)< ====

Bersambung.

38. Bukan Istri Idaman (21+) TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang