Prolog

38 10 6
                                    

Dimalam yang cerah bertabur bintang, ditengah kota gemerlap yang selalu sibuk tanpa jeda, sebuah mobil mewah melesat kencang dengan kecepatan udara melewati jalan raya dengan leluasa.

Alunan musik klasik berputar dengan volume keras, menyembunyikan jerit rintihan seorang wanita yang tengah duduk terikat disertai dengan mulutnya yang tersumpal selembar sapu tangan putih.

Matanya berkunang, nafasnya tak karuan, dadanya bergemuruh, ia tahu ia tak aman.

Laki laki dengan kemeja putih yang sudah berantakan itu kini hanya fokus mengemudi menatap jalanan dengan aksen wajah yang garang. Jelas jauh berbeda dengan dirinya saat berada di klub malam mewah tadi, dimana dirinya sangat romantis dan membuatnya candu.

Wanita dengan gaun merah yang sedang menangis dalam diam itu semakin ketakutan melihat laki laki yang berkemudi itu sudah membelokkan mobilnya kearah sebuah jalanan menuju tempat yang semakin gelap. Tak ada lampu, penuh semak belukar, jalanan senyap, perasaannya semakin takut.

Seketika mobil berhenti didepan sebuah rumah gubuk di tempat yang entah dimana, sungguh sepi dan seperti tidak ada penghuninya.

Laki laki itu keluar dari mobilnya  membanting pintu mobil dengan keras membuat wanita itu kaget bercampur rasa takut. Lampu mobil sudah mati sejak laki laki itu mematikan mesin mobilnya dan sumber pencahayaan sekitar hanya dari gubuk reyot yang diterangi dengan lampu templok remang remang didepannya. Memang sungguh buram dan pekat, tapi wanita itu bisa melihat dengan jelas bahwa ajalnya telah tiba.

Laki laki itu membuka kasar pintu mobilnya dan menarik wanita itu keluar, lalu melemparnya begitu saja tanpa kesulitan. Sikut dan lututnya berdarah, ia mengaduh kesakitan tanpa bersuara. Belum lama merasakan perih di sikut dan lututnya, laki laki itu langsung menarik rambut panjang wanita itu dengan kasar dan menggeretnya masuk menuju gubuk tersebut.

Tak banyak barang yang bisa dijelaskan didalam sana, hanya sebuah meja kayu reyot di tengah ruangan, dan beberapa tumpukkan kardus yang entah apa isinya, lengkap dengan debu disekitarnya.

Sapu tangan putih yang membekap mulut wanita itu diambil kasar, membuat sang empunya mulut berucap.

"Nathan.. ampun.. tolong lepasin aku..." ya, Nathan. Jonathan Wayne lah laki laki dengan kemeja putih yang sudah berantakan itu. Laki laki yang kini sudah siap dengan incarannya.

Tanpa banyak basa basi Nathan menarik rambut wanita itu lagi hingga tersungkur, dan membuatnya meringis lebih kesakitan dari sebelumnya.

Namun bukannya merasa kasihan, laki laki dengan garis rahang tegas dan bertatapan tajam itu malah mengeluarkan sebuah pisau lipat yang berkilau dan sangat tajam tentunya.

"Angel" lirih Nathan dengan tatapan memuja pada pisau lipat kesayangannya itu.

Tanpa banyak basa basi, pisau sudah berada sangat dekat dengan leher wanita itu.

"Ampuun.. apa salahku Nath?" Kata wanita itu sekali lagi.

"Apa salahmu?" Tanya Nathan kembali.

Senyum tipis menyeringai yang tentu sangat mengancam itu, akhirnya terbit dari bibir seorang laki laki yang sedari tadi sudah menahan gejolak ingin membunuh.

"Tidak ada yang benar dari diri seorang pelacur. Aku tidak membutuhkan alasan untuk membunuh wanita murahan sepertimu." Kata Nathan dengan suara beratnya yang semakin membuat wanita itu ketakukan.

"Apa maksud kamu Nathan?" Tanya wanita itu.

"Kamu pikir aku bodoh Olyn!" Kata Nathan membentak dengan suara yang menyeramkan.

"Aku tahu kamu sudah memiliki hubungan gelap dengan beberapa laki laki hidung belang!"

"Kamu tidak lebih rendah dari pada seonggok sampah!"

Mendengar itu membuat wanita yang dipanggil Olyn tersebut semakin ketakutan hingga membuatnya berteriak minta tolong.

"Teriaklah. Kalau perlu sampai tenggorokanmu hancur!"

"Jika kamu mati, kau pikir laki laki hidung belang itu akan peduli? Cuih! Mereka bahkan tidak akan tertarik mendengar berita jika isinya hanyalah tentang penemuan mayatmu digorong gorong." Kata Nathan dengan sarkasnya.

"Sekarang aku ingin memberi pilihan yang bagus."

"Apa yang akan kau pilih, dibunuh atau bunuh diri?" Tanya Nathan.

Olyn kemudian hanya menangis dan menggeleng. Memohon agar diberi kesempatan untuk hidup.

"Kau tidak ingin menjawab?" Tanya Nathan.

"Aku anggap kau memintaku untuk memilih" Kata Nathan telak.

Tanpa diduga, pisau yang sedari tadi sudah siap didepan mata wanita itu langsung dijauhkan dan dimasukan lagi olehnya ke kantung.

Nathan berjalan kearah tumpukan kardus di sudut ruangan dan membukanya. Ia pun mengambil seutas tali tambang berukuran cukup besar yang tidak terlalu panjang dan mengikatnya di langit langit gubuk tersebut.

Lalu selanjutnya ia menarik rambut Olyn itu secara paksa untuk kesekian kalinya, dan memaksanya untuk berdiri lalu naik ke atas meja yang sudah disiapkan tepat dibawah ikatan tali tadi. Tubuh tinggi dan altetis milik Nathan memudahkannya untuk menjinakkan lawan, kini wanita itu sudah pasrah tak berkutik lagi. Selain karena berkali kali dihempas dan merasakan sakit, sebelum kemari ia dicecoki alkohol yang telah dicampurkan obat yang membuatnya semakin lunglai dan sulit memberikan perlawanan.

Nathan pun menyimpul tali sisa ke leher Olyn dan membuat si empunya mulai kesulitan bernapas.

Walaupun masih menapaki meja, namun simpul yang dibuat Nathan pada lehernya sungguh menyiksa dan cukup membuatnya hampir mati.

Nathan berdiri puas menyaksikan hasil karyanya yang hampir sempurna itu. Hingga kemudian ia menghitung mundur dari angka 3 lalu menendang meja tempat Olyn berpijak dan otomatis membuat Olyn menjerit tertahan.

Tubuhnya tremor parah, tangan dan kakinya berusaha menggapai sesuatu yang tidak bisa ia gapai. Seluruh tubuhnya mulai memucat dan wajahnya mulai membiru. Perlahan getaran tubuhnya mulai jarang, tapi matanya masih melotot lebar dan berurat.

Hingga dalam beberapa saat tubuhnya benar benar kaku dan tidak bergerak sama sekali.

Nathan tersenyum puas, ia tak banyak berbicara ketika menyaksikan proses pencabutan nyawa wanita itu. Bulu kuduknya meremang, hatinya bergejolak penuh rasa puas, seluruh amarahnya terlepas dan tepat setelah nyawa Olyn melayang, ia seperti terlahirkan kembali. Seluruh sensasi itulah yang membuatnya selalu kecanduan, meskipun ia tahu betul perbuatannya adalah kesalahan terbesar.

Terakhir, ia berjalan keluar dari gubuk itu lalu menyulut korek api ke gubuk yang seluruhnya terbuat dari kayu. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk membuat gubuk itu rata dengan tanah. dan sebelum api api itu padam, Nathan langsung melajukan mobilnya pergi dari tempat itu menuju ke apartemen mewah miliknya.

Setelah sampai disana, ia langsung pergi ke kamar mandi dan menyalakan shower. Ia mengguyur seluruh tubuhnya walau masih terbalut pakaian dan Ia pun tersenyum senang.

🥀🥀🥀

Bekasi, 10 Februari 2021
-Sabrina-
...

Ig : @sabrinazz.am

PSYCHOPATH'S QUOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang