6. Disappear

3 2 0
                                    

Hari yang berat, matanya sembab, dadanya bergemuruh, kepalanya terus berputar, ditambah hatinya terasa begitu sakit.

Setelah ia mengetahui bahwa ibunya pada akhirnya meninggal sebelum ia bisa sadar dari komanya selama 3 tahun, Arshena seakan kehilangan semangat hidupnya.

Ia kini duduk di kantin rumah sakit bersama Nathan dan 2 gelas jus jeruk dingin. Bila konteksnya lain, ia pasti akan mewawancarai Nathan tentang bagaimana laki laki itu bisa berada disini, tapi entah mengapa ia sama sekali tidak ingin berbicara.

"Kau ingin makan sesuatu?" Tanya Nathan. Kemudian Arshena menggeleng dengan tatapan yang masih kosong.

"Kau tahu? Memang sulit, tapi kau tidak akan mati hanya karena ibumu mati." Ucap Nathan seraya menyeruput Jus jeruknya seakan tanpa dosa.

"Dari mana kau tahu itu jerk?" Tanya Arshena dengan nada sarkas yang begitu khas melekat padanya.

"Karena aku juga pernah merasa kehilangan. Bahkan sejak umurku 7 tahun." Kata Nathan dengan nada yang lebih kecil dari sebelumnya. Entah mengapa, sekelebat peristiwa yang pernah terjadi padanya dahulu langsung berputar di otaknya.

"Aku hanya belum siap." Ucap Arshena dengan suara bergetar, dan Nathan tidak membalas perkataannya. Karena ia sibuk menikmati memori yang berputar bagai kaset rusak itu dan membuatnya jadi ingin menangis.

"Kau tidak mau bertanya bagaimana aku bisa tahu kau disini?" Tanya Nathan mengubah arah pembicaraan.

"Aku sedang tidak minat untuk bertanya." Kata Arshena dengan wajah yang kembali ingin menangis. Namun Nathan tetap berbicara walau Arshena tidak bertanya.

"Aku melihatmu dijalan saat kau sedang menyetop taksi, dan entah mengapa aku tertarik untuk mengikutimu, dan inilah yang aku dapat. Kau tahu apa jadinya jika aku tidak memutuskan mengikutimu? Mungkin sekarang kau di ruang iCU." Kata Nathan menjelaskan kronologis awal mula ia mengikuti Arshena, walau ia tak menyebutkan bagian dimana memang Nathan sengaja ingin mengikuti Arshena bahkan sejak gadis itu baru sampai di kampusnya.

"Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau bersedih." Jawab Arshena dengan datar dan kini ia sudah mau meminum jus jeruknya, bahkan menghabiskannya dalam sekali tenggak.

"Dilihat dari bagaimana cara kau minum, seperti kau sudah membaik." Kata Nathan. Namun Arshena tak menghiraukannya, ia malah langsung bangun dari duduknya dan hendak pergi dari tempatnya.

"Kau mau kemana?" Tanya Nathan sambil ikut berdiri.

"Ke neraka." Jawab Arshena sambil berjalan keluar dari area kantin.

"Hey, beginikah caramu berterimakasih? Mengingat aku sudah pernah menolongmu dengan mengantarmu, lalu sekarang secara tidak langsung aku juga sudah menolongmu." Kata Nathan sambil berjalan disampingnya.

"Beginikah caramu menolong orang? Dengan mengungkitnya terus menerus?" Jawab Arshena, lagi lagi dengan nada sarkastik khas dirinya.

"Aku tidak percaya kau baru saja merasa kehilangan." Kata Nathan dengan santainya.

"Seandainya ini bukan tempat umum aku sudah akan menamparmu." Balas Arshena sambil memencet tombol di lift yang kini sedang mereka naiki.

"Aku benar benar tidak percaya, kau sembuh begitu cepat." Kata Nathan lagi namun kali ini Arshena tak menggubrisnya. Meskipun begitu, Nathan melihat dipelupuk mata gadis itu masih menggenang air mata yang siap meluncur kapan saja, Nathan tau gadis itu hanya berusaha tegar didepannya.

Mereka pun akhirnya sampai koridor depan diruang tempat Lilly di rawat, dan tempat itu kini sudah diramaikan banyak orang termasuk Jordhan, ayahnya Arshena. Bahkan disana ada Lenny kekasih Jordhan, Hellen, dan beberapa bibi dari Arshena yang tadi ia telfon.

PSYCHOPATH'S QUOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang