"Nia takut, tadi papa tidur sambil nangis, terus manggil-manggil nama mama," ucap Nia ketakutan. Gadis kecil itu semakin mempererat pelukannya pada sang papa.
Mendengar perkataan Nia membuat Dafa memejam. Rasa kecewa semakin menumpuk di kepalanya. Pada kenyataannya ia memang bermimpi, manusia yang sudah mati mustahil akan kembali.
Setelah mengembuskan napas lelah, akhirnya Dafa kembali membuka mata, melihat jam dinding yang menunjukkan setengah tiga. Dafa mengucapkan istighfar dalam hati berkali-kali, tangannya bergerak mengusap kepala Nia.
Dafa kini paham kenapa Afni mendatanginya melalui mimpi, ia sudah lama tak mengunjungi pusara almarhumah istrinya itu, bahkan ia sudah jarang mengirimkan surah Yasin karena ia terlalu sibuk mengurus Nia dan pekerjaannya.
Sekarang Dafa sudah di luar kota beberapa bulan, ia memutuskan menerima pekerjaan sebagai pegawai bank milik negara dan menolak undangan untuk kuliah di luar negeri, mungkin belum waktunya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan suatu saat jika Nia sudah cukup besar, ia akan melanjutkan kuliah.
Saat ini, Dafa membawa Nia bersamanya, meski awalnya para orang tua menolak, tapi pada akhirnya mereka mengizinkan.
Ketika siang ia akan menitipkan Nia pada yayasan penitipan anak yang salah satu pengasuh anak-anaknya sangat ia kenal, ia akan menjemput Nia saat pulang kerja.
Ketika terpaksa lembur ia baru menitipkan Nia di rumah Riski atau Jonathan. Jangan tanya kenapa? Waktu yang memperbaiki pertemanan mereka.
Dafa kembali menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang.Jika Afni menghadirinya melalui mimpi seperti ini, hatinya semakin berat untuk mengikhlaskan kepergian Afni. Rindu yang semula mencoba untuk ia kubur dalam-dalam kini kembali naik ke permukaan. Rasa sesal karena tak memperlakukan Afni dengan baik kembali terngiang.
Senyuman dan suara halus Afni terasa masih membekas di ingatannya, kejadian beberapa saat lalu seakan nyata. Rasa sakit di kepalanya masih tersisa, keringat di dahinya belum kering. Kenapa rindu rasanya sesakit ini. Kenapa penyesalan rasanya semenyiksa ini. Masih belum cukupkah Afni menyiksanya dengan pergi untuk selama-lamanya sampai kini ia harus merasakan rindu yang perih.
"Papa Berondong, kepala Nia mau diusapin lagi." Suara Nia membuat Dafa membuka mata, menunduk menatap gadis kecilnya, dirinya baru sadar gerakan tangannya yang mengelus kepala Nia terhenti karena terlalu larut memikirkan Afni.
Dafa menyunggingkan senyum tipis lalu kembali mengusap kepala anaknya dengan lembut sembari bertanya, "Nia mau salat tahajud sama papa, nggak?"
Mendengar perkataan Dafa membuat Nia kembali mendongak, menukikkan kedua alisnya merasa heran. "Salat tahajud itu apa, Pa?"
Dafa lupa jika Nia hanyalah gadis tiga tahun yang tak tahu hal-hal yang rumit, meski beruntungnya Nia sudah pandai berbicara meski ada abjad tertentu yang belum sempurna ia ucapkan. Dafa memutuskan untuk menyuruh Nia kembali tidur sedangkan dirinya mengambil air wudhu.
Sudah lama sekali rasanya ia tak salat tahajud akibat disibukkan dengan urusan dunia, terkadang ia harus rela mengorbankan waktu bersama Nia karena harus bekerja lebih lama di kantor, ia tak mau lagi membebankan kebutuhannya pada kedua orang tuanya meski mereka tetap saja mengirim uang setiap bulannya.
Saat keluar kamar mandi mendadak Nia berlari ke arahnya, merengek ingin turut salat bersamanya membuat Dafa tersenyum mengusap kepala Nia sesaat lalu menemani Nia ke kamar mandi.
Sekarang ia tak lagi tinggal di kos karena mainan Nia yang terus bertambah tak akan muat jika di kos alhasil ia menyewa kontrakan, meski tak terlalu besar. Namun, cukup untuk mereka berdua, sebenarnya Dafa bisa saja menyewa kontrakan yang lebih besar, tapi hal itu hanya akan menambah kesan kosong dan hampa.
KAMU SEDANG MEMBACA
TMDT Snack Time
AcakBerisi cuplikan part ringan setelah Terpaksa Menikah Dengan Tetangga tamat. Hanya untuk melepas rindu. Tidak memaksa untuk kalian membaca ini, karena semacam hanya sebatas hiburan untuk saya sendiri. Meskipun begitu, bagi yang mau membaca, maka ikut...