"Sayang, bisakah kamu tenang?"
Pertanyaanku ditambah dengan tawa lembut saat aku bertatapan dengan suamiku. Dia biasanya sangat tabah, tidak banyak yang menggoyahkannya. Tapi saat aku menatap tatapannya, saat aku melihat melewati senyuman hangatnya, aku bisa melihat segala macam perasaan campur aduk.
"Kamu sedang melahirkan, Vanessa."
"Terima kasih ya," aku sedikit menggoda, "Aku sangat menyadarinya."
Dia memutar matanya, tapi senyum lembutnya tetap disana.
"Aku tahu. Aku hanya... Sulit melihatmu kesakitan. Dan berhubung ini anak pertama kita, aku hanya tidak ingin ada yang salah. Kamu yakin kamu belum ingin pergi ke rumah sakit? "
Aku mengeluarkan nafas panjang, memutuskan kontak mata dengannya dan menatap perutku yang besar, permukaannya mengintip dari air yang saat ini merendam tubuhku. Saat aku mulai merasakan kontraksi beberapa jam yang lalu, aku sama sekali tidak khawatir. Dokterku telah berkali-kali mengatakan kepadaku bahwa aku bisa rileks selama kontraksiku tetap berjarak beberapa menit, dan jika itu berarti melalui persalinan dini di rumahku sendiri, dengan senang hati aku pasti akan melakukannya.
Ada sesuatu tentang berada di rumah sakit yang membuatku... tidak nyaman. Alarm yang menggelegar, arus perawat dan dokter yang tiada henti, orang-orang terus-menerus memerintahkanmu apa yang harus dilakukan...
Bukan hal yang aku inginkan. Mengontrol penuh tubuhku sendiri dan mendengarkan tanda-tandanya, dorongannya, menurutku jauh lebih baik. Bahkan mendebarkan. Aku benar-benar suka menenangkan diri melalui kontraksi, berbaring di bak mandi diisi air hangat tanpa dikelilingi oleh siapa pun kecuali suamiku. Aku tidak akan meminta cara yang lebih baik untuk melahirkan anak pertama kami ke dunia.
Tapi aku tahu kemungkinan besar ini tidak akan terjadi. Suamiku terlalu khawatir. Aku tahu dia percaya pada kekuatanku, dan aku tahu cintanya padaku tidak terbatas. Namun sayangnya, cinta yang kuat itu diiringi dengan rasa khawatir yang sangat besar.
Meskipun ada banyak kata-kata penyemangat, ada juga banyak permohonan dan pertanyaan. Setiap "Kamu bisa, sayang" selalu diikuti dengan "Kamu baik-baik saja?" Dan setiap "Kamu melakukannya" selalu diikuti dengan "Haruskah kita berangkat sekarang?"
Dia hanya tidak tahu apa yang diharapkan dari semua ini. Sejujurnya, aku juga tidak. Tapi ada sesuatu yang sangat mengagumkan tentang melakukan ini sendiri, daripada menyerahkannya kepada sekelompok dokter.
"Aku yakin, sayang," aku akhirnya menjawab, mengulurkan kedua tangan untuk mengusap perutku, "Kurasa masih lama."
Sam menghela nafas panjang. Aku tidak akan terkejut jika dia ingin berdebat denganku. Aku yakin setiap bagian dari dirinya sangat ingin membuatku mematuhinya. Tapi karena sifatnya yang lembut, dia tidak melakukannya.
"Yasudah. Apakah kamu butuh aku untuk mengambil sesuatu? "
"Mungkin sedikit air."
"Oke. Aku mencintaimu, sayang."
"Aku mencintaimu juga."
Dia mencondongkan tubuh ke sisi bak mandi, mencium dahiku dengan lembut, sebelum bangkit dan keluar dari kamar.
Nafas panjang meninggalkan hidungku, senyum terbentuk di wajahku sekarang setelah aku istirahat dari semua rasa gugup itu. Aku memejamkan mata, menyandarkan kepalaku ke dinding dan mengalihkan semua perhatianku ke dalam tubuhku. Aku mendalami apa yang aku rasakan, setiap rasa sakit kecil, dan setiap gerakan dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot Birth Story *Hiatus*
General FictionSemua cerita disini murni fiksi yaa, buat yang lagi gabut atau gaada waktu buat baca cerita panjang, karena authornya juga sama gabutnya wkwk Makasih buat yang komen, vote, atau kritik Happy reading! 17+