Hidup seorang Nanase itu monoton. Entah kapan kehidupannya yang membosankan namun damai itu akan berakhir. Mereka, para idol itu berhenti datang. Hari-harinya semakin sepi, tidak ada yang dapat ia ajak berbasa-basi. Tetangganya juga sudah pindah ke kota beberapa hari lalu.
Tak satu pun wisatawan yang berkenan datang ketokonya. Bunga-bunga yang ia tanam semakin bermacam-macam, bukunya juga terus bertambah setiap harinya. Entah apa yang dia pikirkan, padahal tak ada yang berkunjung, tak ada yang membeli tapi dia terus menambah stok barang.
Buku bersampul pink pucat ia tempatkan di pangkuannya. Tangan kurus miliknya mulai membalik halaman demi halaman buku itu sampai akhirnya berhenti pada salah satu halaman yang kosong.
“Hari ini indah seperti biasa, hanya saja terlalu sepi kalau boleh saya akui. Mungkin beberapa hari lagi saya akan benar-benar kesepian. Terimakasih kepada asma saya, karena tidak mengganggu selama beberapa tahun belakangan ini. Mungkin karena sedikit bersimpati dan mulai berteman akrab dengan gangguan lain yang saya alami. Saya merindukan mereka, saya ingin kembali tapi saya takut, kalau nantinya saya hanya akan membuat mereka kembali mengalami kekecewaan,” pena yang sedari tadi asyik menorehkan tintanya diatas kertas berhenti sejenak.
Si pemilik tangan terbatuk, memejamkan mata, mencoba memutar ulang ingatan masa lalu saat masih bersama mereka. Kenangan yang indah sekaligus menyakitkan. Seulas memori pahit terlintas, dimana seorang pemuda bersurai raven berdiri sembari melipat kedua tangan di depan dada, sedangkan dirinya duduk di lantai. Riku ingat, saat itu rekannya memarahi dan mengungkit semua kesalahannya habis-habisan di hadapan kepala agensi dan mitra bisnis mereka.
“Mengapa kita mengalami kemunduran?! Kenapa kau tidak mengikuti arahan serta konsep yang sudah kuatur dan kusiapkan?!”
Kalimat si raven secara otomatis terngiang. Membuat pemuda itu membuka mata, mengalihkan pandangannya sejenak, menatap deretan bunga dengan berbagai macam warna yang melambangkan teman-teman yang dirindukannya.Ia ingat sore suram itu. Dimana Iori berdiri berceramah. Berbicara dengan nada dingin, menguraikan masalah yang Riku perbuat satu demi satu. Menyinggung soal layak atau tidaknya si surai merah sebagai seorang center, pusat dari grup idol yang dielu-elukan.
Puluhan pertanyaan semisal terlontar dari mulut Iori saat itu. Membuat beban yang selama ini dipikul pundak kecil Riku kembali bertambah. Semua kesalahannya diungkit secara terperinci, sangat detail, sampai si mahkota merah tak memiliki kesempatan untuk membela diri. Disaat yang sama ia juga teringat akan kebaikan sang manager Takanashi Tsumugi, yang walau diancam sekalipun akan tetap berdiri didepan untuk melindunginya.
“Untuk Takanashi Tsumugi-san. Saya pernah berpikir apakah saya layak untuk mencintai Anda. Memberi cinta yang lebih istimewa dari yang para member lain berikan pada Anda. Saya tahu dunia ini luas, tapi tak akan membuat saya bertemu wanita seperti Anda untuk kedua kalinya.”
“Mungkin saya harus tutup lebih awal hari ini,” lembar berwarna krem itu ia simpan di antara lembar berwarna serupa, yang ia jadikan satu. Riku bangun, beranjak dari duduknya, mengambil buku-buku yang berserakan diatas nakas beserta pena dengan beberapa warna.
Mengunci pintu, lalu bergegas menuju rumahnya yang terletak tepat di belakang bangunan tua itu. Lagi, langkahnya terhenti, setidaknya kali ini ada seulas senyuman yang tersemat di wajah teduhnya.
“Ah maaf toko saya sudah tutup.”
“Aku tidak punya urusan dengan toko bulukmu,” kalimatnya lumayan kasar, membuat si merah mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya tertawa, seakan yang tadi itu adalah sebuah gurauan.
“Jadi? Apakah gerangan yang membuat tuan jauh-jauh datang kemari?”
“Bukan urusanmu,” jawabnya ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go
FanfictionWarna merah pada pelangi yang senantiasa menghiasi langit itu telah hilang. Meninggalkan warna-warna lainnya dengan penuh kekecewaan, menjadikan mereka tak lagi berarti. Bumi dan langit, jaraknya begitu jauh namun kali ini seolah menjadi lebih jauh...