Ramainya kota, pejalan kaki dimana-mana, gedung-gedung pencakar langit berjajar, berderet rapi. Hal yang sudah lama hilang dari kehidupannya yang jauh dari keramaian kota.
Si merah berjalan seorang diri, tanpa topi, tanpa masker, atau pun alat-alat yang bisa menutupi identitas diri lainnya. Tak ada fans lagi, tak ada wartawan gila, tak ada menyanyi, tak ada rekan maupun atasan, semuanya menyenangkan membuat hidup bebas dari yang namanya kekhawatiran.
Ia masuk ke sebuah toko swalayan, memilih beberapa barang yang ia butuhkan, membawanya ke kasir dan membayar. Berkeliling sebentar, menikmati beberapa jajanan yang dijual dipinggir jalan, lalu pergi ke tempat yang paling dia benci tetapi juga yang paling ia butuhkan saat ini.
Rumah sakit.
Riku masih tidak suka, bau obat-obatan disini begitu mengganggunya. Tak ingin berlama-lama, pemuda itu mempercepat langkahnya. Ia masuk ke sebuah ruangan, tak sampai 30 menit kemudian ia keluar. Tangannya terlihat memasukkan sesuatu ke dalam saku, menghela nafas lalu kembali berlalu, keluar dari tempat bernuansa putih yang menyimpan sebagian besar kenangan masa kecilnya.
Jalan kaki bukanlah ide yang buruk, hitung-hitung olahraga, tapi ini membuatnya terlambat pulang. Sempat bersembunyi karena berpapasan dengan mantan bosnya juga memakan banyak waktu, kenapa coba itu pak tua pakai acara diam ditempat segala? Kan ribet.
Sekarang sudah sore, haruskah ia lewat jalan besar yang jarak tempuhnya jauh ataukah jalan pintas yang hanya memakan 15 menit bila berjalan kaki dari tempatnya berdiri saat ini?
"Jalan besar dan jalan setapak ini sama saja, sama-sama ramai penghuninya. Hah terserah, lewat sini sajalah, kasihan mereka yang sudah menungguku pulang."
Tanpa takut ia berjalan melewati jalan setapak yang tidak bisa dibilang landai, beberapa dari tempat itu memiliki jalan berbatu yang cukup licin. Rasanya sudah seperti mendaki gunung saja.
Di beberapa tempat yang cukup gelap Riku berpapasan dengan beberapa penghuni tak kasat mata. Ya, kalian tau sendiri bagaimana anak bungsu Nanase ini. Ada yang hanya diam memperhatikan ada pula yang jahil mengusik ketenangan perjalanan pulangnya.
Beberapa kali ia hampir jatuh terpeleset, kadang rambutnya tak sengaja tersangkut di dahan pohon yang tumbuh rendah. Ada sedikit rasa menyesal karena telah mengambil langkah yang salah, tapi penyesalan semacam itu tak ada gunanya lagi.
Kurang dari 15 menit ia sampai di depan pintu rumah. Kakinya hendak melangkah ke dalam sebelum akhirnya ia sadar, ada yang berbeda.
Lampu rumahnya menyala, pintu toko terbuka, ditambah dua kucingnya duduk diluar rumah memandang dirinya tajam.
Dengan tenang Riku melepaskan tangannya dari gagang pintu, berjalan mundur ke belakang dengan pelan. Mengambil sebuah sapu yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Riku-san, kau sudah pulang?"
Bahunya tertarik ke atas saking kagetnya, dengan cepat ia berbalik arah, sapunya sudah siap dilayangkan namun tak jadi saat ia mendapati perempuan yang amat ia kenali sedang berdiri dengan keranjang buah di tangan.
"Manag- Takanashi-san?"
Untuk sejenak ia terdiam, senyum manis orang di depannya membuatnya merasakan kehangatan.
Siapa sangka Tsumugi akan kemari di jam segini, ataukah mungkin dia datang di pagi atau siang hari saat dia sedang pergi berbelanja ke kota."Ah, maafkan aku Riku-san. Aku masuk kesini tanpa izin, aku benar-benar minta maaf. Aku hanya merindukan Riku-san, sudah lama kita tidak bertemu, aku sangat khawatir. Yang lain tidak pernah mau memberitahuku alamat rumahmu ataupun keadaanmu, jadi aku bertanya lagi pada-" gadis itu panik, dia jadi salah tingkah. Tak tahu harus menjelaskan apa lagi. Hal itu membuat Riku terkekeh kecil, sejenak kemudian ia menampilkan wajah tenang nan menawan miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go
FanfictionWarna merah pada pelangi yang senantiasa menghiasi langit itu telah hilang. Meninggalkan warna-warna lainnya dengan penuh kekecewaan, menjadikan mereka tak lagi berarti. Bumi dan langit, jaraknya begitu jauh namun kali ini seolah menjadi lebih jauh...