Pipi milik Tenn memerah seketika, tamparan tadi begitu kuat dan bertenaga. Rasa sakit yang diterimanya begitu menusuk, seolah tamparan tadi mewakili segala rasa serta penderitaan orang yang melayangkannya.
“Nanase-san,” si surai krem terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja lelaki polos itu lakukan. Tangan milik Riku juga ikut memerah, menandakan kalau tamparannya memang benar-benar kuat dan keras.
Torao menatap keduanya khawatir, mencoba meraih bahu rekan satu grupnya, menarik tangan kiri si lelaki bersurai merah bersamaan dengan tangan satunya yang mengguncang pelan tubuh Minami.
“Pergilah! Anda tidak berhak berkata seperti itu dihadapan saya,” rautnya berubah, sangat dingin. Tak ada yang pernah melihat raut itu sebelumnya.
“Shhh.... Sialan.”
“Jangan berkata kasar di kediaman saya. Pergi! Bawa mulut kotor Anda menjauh,” Minami tak dapat lagi berkata-kata, mulutnya terbuka lebar mendengar titah si surai merah. Luar biasa, sikapnya berubah drastis.
Lelaki berparas cantik yang sehari-hari bekerja sebagai idola sekaligus komposer untuk grup beranggotakan 4 orang dibawah naungan Tsukumo Production itu telah mengenal Nanase Riku sejak beberapa tahun lalu dan baru kali pertama melihat si manis meneriaki seseorang dengan suara lantang.
Tenn yang nampaknya akan membuka kembali mulut pedasnya langsung ditendang keluar dari halaman oleh Riku.
“Pergi! Mulai sekarang tempat saya tertutup untuk kalian,” putusnya lalu berbalik arah.
Tenn berdiri, memungut beberapa batu kerikil kecil bercampur pasir yang berserakan jalan. Menggenggam material itu kuat, melampiaskan segala rasa kesal dan amarahnya dalam sekali lempar.
“Nanase Riku!”
Riku yang tengah mengarahkan dua orang lainnya untuk masuk kedalam kembali membalikkan badan menatap si surai pink, dan tepat sasaran, pemilik kedai itu berjongkok, mengusap matanya yang kemasukan pasir. Tapi anehnya, dia tidak kesakitan.
“Hahahaha rasakan! Mati kau! Lenyap kau iblis!” Tenn tertawa bagaikan orang gila, meraup pasir disekitarnya berkali-kali melemparkannya ke arah si surai merah yang masih setia duduk sembari menutup matanya.
“Kujou!” Torao menyikut pinggul lelaki bertubuh kecil itu, memandunya menjauh bersama sampai hilang di rerimbunan semak di persimpangan jalan.
“Nanase-san kau tak apa?”
Minami ikut berjongkok, rasa khawatirnya semakin bertambah saat melihat si merah tersenyum lembut kepadanya.
“Tidak, ini tidak sakit sama sekali,” jawabnya, sebelum akhirnya berdiri dan meraih tangan laki-laki bermarga Natsume itu untuk diajak masuk ke dalam bersama.
Torao nampak dari kejauhan, berlari kecil di jalanan. Sepertinya dia berhasil mengatasi Tenn. Suara khas burung-burung yang beterbangan pulang ke sarang mendampingi setiap langkah putra bungsu seorang konglomerat dunia. Senja telah tiba. Setelah beberapa menit akhirnya ia sampai di halaman belakang, tempat rumah kecil milik si surai senja berdiri kokoh.
“Aku kembali,” ia membuka pintu, mendapati dua orang yang tadi harusnya menunggu dirinya di luar tengah asyik mengobrol ditemani beberapa potong kue dan teh panas.
“Hey! Kalian mengacuhkanku?,” keduanya menoleh, memasang senyum tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Wah maaf Mido-san, aku lupa kau masih di luar,” Minami kembali menyesap tehnya. Riku mengangkat tangan memberi isyarat pada anak didik Tsukumo Ryo itu untuk duduk dan bergabung bersama mereka.
“Nanase-san, yakin masih ingin tinggal disini?”
Riku menjauhkan mulutnya dari cangkir teh dihadapannya, menatap dua orang yang menatapnya balik dengan begitu serius, pemuda itu pun membuka mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go
FanfictionWarna merah pada pelangi yang senantiasa menghiasi langit itu telah hilang. Meninggalkan warna-warna lainnya dengan penuh kekecewaan, menjadikan mereka tak lagi berarti. Bumi dan langit, jaraknya begitu jauh namun kali ini seolah menjadi lebih jauh...