"Hei bangunlah!"
Perempuan bersurai perak yang terlelap sambil bersandar di sebuah pohon besar, tak bergerak sama sekali. Prajurit yang membangunkannya kembali meneriakinya, "Hei Putri, bangunlah!" Sambil menendang pelan kecil sang Putri.
Azura membuka matanya perlahan tatkala prajurit itu terus mendang-nendang kakinya. Ia mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya matahari yang masuk ke retinanya. Lalu, matanya disapa oleh keberadaan seorang prajurit yang berdiri menjulang di hadapannya. Segera ia berdiri dan membungkuk hormat. "Ma-maafkan saya, Tuan."
Si prajurit hanya mendecakkan lidah kemudian beranjak untuk melepaskan tali pengait pada pohon. Ia berjalan dengan menarik tali pengait tersebut yang terhubung dengan ikatan dipergelangan tangan Azura, hingga membuat Azura juga ikut berjalan mengikuti si prajurit.
Langkah prajurit yang buru-buru itu membuat Azura kewalahan menyesuaikan, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di tanah. Kondisinya yang sebelumnya memang kurang baik, kini makin memburuk. Penglihatannya berkunang-kunang sebab pusing tiba-tiba melanda.
"Ada apa?"
Suara berat dan sedingin es itu membuat prajurit yang menarik tali Azura menunduk takut. "Ma-maaf menggangu ketenangan Anda, Yang Mulia."
Elden, laki-laki bersurai hitam dengan mata birunya menatap dingin ke arah Azura yang kini berusaha berdiri sambil memegangi kepalanya. Elden kemudian mengambil alih tali pengait dari tangan prajurit lalu dengan keras menarik tali itu.
Azura masih terduduk sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing. Ia tak menyadari kedatangan Elden hingga saat laki-laki dingin itu menarik kasar tali pengait yang membuat Azura terseret ke hadapan kaki Elden.
"Akh—" Pekik tertahan Azura saat merasakan sakit dipergelangan tangan dan di lututnya akibat terseret dengan kasar. Ia mengangkat kepalanya. Sepasang maniknya menangkap wajah laki-laki dengan mata biru yang menatapnya seolah menusuk sampai tulang-tulang. Dengan cepat Azura kembali menunduk gemetar.
"Berdiri!" titah Elden.
Mendengar suara Elden, Azura semakin ketakutan. Ia berusaha berdiri, namun kakinya seolah kehilangan tenaganya.
"Kau mau kuseret sampai Vantiago?" ucap Elden sarat akan ancaman.
Azura dengan susah payah mencoba berdiri, tapi ia tidak bisa. Tubuhnya kehabisan tenaga karena perjalanan serta dahaga yang menyiksa. Ditambah lagi luka yang baru ia dapatkan di lututnya.
"Maafkan saya, Tuan. Ka-kaki saya tidak bisa digerakkan," ucap Azura sambil terus berusaha menggerakkan kakinya.
Decakan lidah terdengar. Elden mengedarkan pandangannya hingga matanya tertuju pada kereta kecil berbentuk kubus yang digunakan untuk menyimpan barang. Ia kemudian menatap prajurit yang ada di sampingnya. "Bawa kereta itu kesini," titahnya.
Tanpa ada jeda sedikitpun, prajurit itu langsung bergerak melaksanakan perintah dari Rajanya. Tidak butuh waktu lama, ia kembali sambil menarik kereta barang tersebut. "Ini mau di apakan, Yang—"
"Taruh perempuan ini di dalam kereta itu," potong Elden yang diangguki si prajurit.
Mendengar ucapan Elden, sontak Azura membelalakkan matanya. Ia menggeleng cepat sambil menatap takut kereta barang tersebut. "Tu-tuan, saya tidak mau naik kereta. Sa-saya masih bisa berjalan," ucapnya.
Elden mengerutkan keningnya saat melihat wajah ketakutan Azura. "Berdiri saja kau tidak mampu, bagaimana dengan berjalan?"
Azura semakin gelagapan. Wajahnya memucat seolah darahnya berhenti mengalir. Beberapa orang yang berdiri disekitar, memandangnya dengan sorot bingung. Satu hal dalam benak mereka, mengapa Azura tidak mau naik kereta? Padahal naik kereta lebih baik bahkan sangat baik buatnya daripada berjalan dengan kakinya yang terluka.
Azura kembali menggeleng dengan tubuh bergetar. "Tuan, sa-saya lebih baik diseret saja daripada harus menaiki kereta itu," ujarnya yang membuat Elden menatapnya heran.
Melihat Azura yang semakin ketakuan, Elden tersenyum miring. "Menyeretmu dari sini hingga Vantiago sepertinya menyenangkan. Tapi itu akan memperlambat perjalanan." Elden menatap prajuritnya. "Masukkan dia ke dalam kereta itu!" Titah Elden kemudian beranjak pergi.
Azura memundurkan tubuhnya saat dua prajurit mendekatinya. Ia menggeleng kuat sambil bibirnya terus berucap tidak. Kedua prajurit nampak tidak perduli. Mereka tetap menarik lengan Azura di masing-masing kanan kiri, lalu memaksanya untuk masuk ke dalam kereta.
Dengan sisa tenaganya, Azura memberontak kuat saat tubuhnya semakin dekat dengan kereta. "Tidak! Kumohon jangan!" Azura berteriak dengan air mata yang kini membanjiri pipinya.
Prajurit memaksa Azura masuk kedalam kereta dengan mendorong tubuhnya. Mereka lalu menutup pintu kereta dan menguncinya agar Azura tidak bisa keluar.
Di dalam kereta, Azura menatap sekelilingnya dengan bulir air mata yang semakin deras mengalir. Matanya hanya bisa melihat samar karena sedikitnya cahaya yang masuk ke dalam kereta tersebut.
Tiba-tiba dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang sangat berat menimpa tubuhnya. Ia menyandarkan punggungnya di dinding kereta sambil memegang dadanya yang semakin lama semakin sakit rasanya.
Tubuh Azura bergetar ketakutan tatkala memori masa lalu tiba-tiba menyambangi pikirannya. Ingatan itu berputar-putar di kepalanya hingga menambah rasa sesak di dadanya. Ia menengadah, berusaha mengais udara dengan mulut terbuka. Air mata kian deras mengalir di pipinya.
"Tolong aku."
Napasnya kini tersengal, udara dalam kereta rasanya sangat sedikit yang masuk ke paru-parunya. Azura memukuli dadanya saat rasa sesak itu semakin menjadi-jadi.
"To-tolong."
Azura beralih memukuli dinding kereta. Pukulan lemah itu ia harapkan mampu membuat orang-orang di luar sana mau menolongnya. "Tolong, keluarkan aku," pintanya yang kini terdengar seperti bisikan. Dan tak lama setelah itu, kesadarannya terenggut.
***
Rombongan pasukan Vantiago telah bersiap melanjutkan perjalanan menuju Vantiago. Mereka berbaris rapi menunggu perintah dari sang Raja.
Elden berdiri didepan para pasukan dengan menunggangi kuda hitamnya. Ditatapnya satu-persatu prajurit yang ada di hadapannya dengan tatapan penuh intimidasi andalannya, seolah memberitahu ialah sang penguasa.
Matanya lalu terhenti pada kereta barang yang ada di tengah-tengah barisan. Kereta yang membawa seorang perempuan berambut perak yang membuat Elden sedikit penasaran dengannya. Ia lalu menarik salah satu sudut bibirnya. "Mainan yang menarik," ucapnya yang hanya mampu didengar oleh dirinya sendiri.
"Yang mulia, hamba kembali," ucap seseorang yang baru saja datang dengan kuda coklatnya.
"Sudah selesai?" Tanya Elden tanpa berbalik menatap wajah sang Jenderal.
"Iya, Yang Mulia. Hamba sudah mengirimkan surat pada istana perihal perjalanan kita yang akan tiba di istana sore ini," ucap Cristian. "Hamba juga sudah mengirimkan surat pada Duke Cassano."
Elden melirik Cristian "Cassano?"
Cristian gelagapan saat mendapat lirikan tajam tersebut. Ia lalu membuka mulut untuk memberi penjelasan. "Iya, Yang Mulia. Duke Antonio Cassano. Duke dari wilayah selatan Vantiago. Sesuai perintah Anda, saya telah mengirimkan surat yang memerintahkan Duke Cassano untuk segera pergi ke istana Alley untuk menangani wilayah itu untuk sementara."
Elden kembali mengalihkankan pandangannya kedepan. Ia menarik tali kekang kudanya, mengarahkannya ke jalur perjalanan. "Oh, Antonio rupanya. Aku lupa dengan nama belakangnya," ucapnya lalu menghentakkan kakinya hingga kuda yang dinaikinya berjalan. "Lanjutkan perjalanan," titahnya.
Cristian membalikkan badan menghadap para prajurit "Lanjutkan perjalanan!" teriak Cristian mengulang perintah Elden untuk mengkomando para prajurit agar segera melanjutkan perjalanan.
🌻
===============================
~Renjuniastri~
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Castle
Historical Fiction[SUDAH TERBIT. BEBERAPA PART TELAH DIHAPUS] Putri kastil. Itulah julukan yang diberikan padanya. Seorang putri kerajaan yang keberadaannya tidak dipedulikan oleh para penghuni istana. Ia tumbuh besar di dalam sebuah kastil tanpa pernah melihat dunia...