"Lo yakin mau ketemu Altair buat balikin buku?"
Ini sudah lebih dari ketiga kalinya Safira bertanya untuk meyakinkan dirinya jika apa yang Nara beritahukan beberapa menit yang lalu hanyalah sebuah bualan semata.
Namun, sejak keluar dari ruang kelas Nara hanya menjawab dengan anggukan yang berarti Nara akan benar-benar mendatangi Altair."Perasaan gue nggak enak, Ra."
Nara tersenyum tipis, sedikit tersentuh saat mengetahui jika Safira bisa setakut itu dia bertemu dengan Altair.
"Berasa lo tuh di Cakrawala kayak anak polos yang harus gue jaga," jelas Safira lagi. Kali ini ia mengehentikan langkah lantas menatap Nara yang juga sama berhentinya.
"Nanti, setelah selesai, hubungi gue, oke?"
"Iya, Safira."
"Oke, gue pulang. Kerja lo shift malam, ya?" Nara mengangguk menjawab.
Safira tersenyum lalu menepuk beberapa kali bahu Nara. "Hati-hati, gue balik.""Hm," jawab Nara.
Setelah punggung Safira tidak terlihat dari pandangannya, Nara menghela nafas untuk menguatkan dirinya menuju kelas Altair.
Sesampainya disana, Nara memilih duduk di kursi panjang depan kelas seraya menunggu keluarnya Altair.Seperkian menit, Nara belum menemukan Altair yang keluar dari kelas. Bahkan, anak lain dari kelas ini juga tidak segera keluar.
"Kok lama, ya?" gumam Nara sembari membuang nafas mengatakan jika ini tidak akan lama lagi.
Memilih untuk menghilangkan kejenuhan, Nara beralih membuka buku yang Altair pinjam. Nara pikir, buku Altair akan sejenis fiksi yang sering Nara baca. Ternyata, cowok itu lebih berminat pada buku berisi biografi tentang para tokoh terkenal yang berjasa karena telah memajukan dunia."Na-ra." Suara serta cara pemanggilan itu membuat Nara langsung tertegun ditempat. Tidak ingin langsung mengambil kesimpulan, Nara mencoba mendongak. Namun, apa yang dipikirkan otaknya ternyata benar. Sosok manusia yang Safira bilang harus segera dihindari---Daniel.
Mengabaikan kegugupan dalam diri Nara yang kentara jelas, Daniel malah tersenyum miring. Ia tidak tahu, mengapa Nara bisa setakut ini, persisi seperti siswa-siswi lain ketika berhadapan dengannya.
Nara pikir, sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk tetap berdiam diri menunggu Altair. Hal paling penting yang harus Nara lakukan saat ini adalah segera menghindari Daniel.
"Permisi." Baru juga Nara berdiri dari posisi duduk, Daniel sudah melangkah maju membuat posisi Nara terapit antara Daniel dan kursi, hingga detik berikutnya Nara kembali harus terduduk di kursi.
"A-aku mau pergi," ucap Nara menunduk.
"Kenapa?" tanya Daniel penasaran. Kedua tangannya terlipat di depan dada, tatapan matanya lurus kearah Nara.
Seharusnya Daniel sudah tahu mengapa sosok manusia seperti dirinya harus dihindari. Namun, sepertinya Daniel sendiri tidak paham bagaimana sikapnya selama ini.
"Itu---"
"Astaga, Daniel!"
Daniel segera berbalik menghadap pintu kelas, sedangkan Nara mendongak melihat siapa yang baru saja berteriak lantang menyebut nama Daniel dengan beraninya, yang pasti itu bukan suara seorang guru.
"Ck, cewek sialan!" Daniel mengumpat dengan suara kecil.
Nara menatap cewek itu yang berjalan mendekat, lalu berdiri disamping Daniel menatap cowok jangkung itu tajam."Berhenti gangguin, atau gue laporin lo ke Bu Novi!" ancamnya dengan berani.
Daniel memundurkan kepalanya menatap cewek dihadapannya dengan kedua alis saling menaut---arti seolah ia tidak yakin tentang ancaman cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen Fiction"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...