Sebait Kata Hati

19 2 0
                                    

Semerbak aroma kopi hitam berbaur dengan hembusan angin pagi yang sejuk. Benar-benar harum. Kopi hitam buatan bidadari rumahku itu mengingatkanku kepada seseorang. Paman Deka.  Sang pecandu kopi yang senantiasa bekerja menghidupi keluarganya. Perawakan tinggi besarnya memang seram bagi anak-anak, tapi hatinya sangat mulia.

"Kak Dian, cantik-cantik kok ngelamun. Kayak itu tuh boneka berduit" ledek Paman Deka yang muncul tiba-tiba saat aku mengamati mama membuat kopi .

"Ish, boneka beruang  itu man" jawabku sedikit gemas.

"Enggak ada bedanya" jawabnya singkat yang langsung ku tinggal kabur.

🌹🌹🌹

Gorden merah marun dengan gantungan dream catcher kuning di tengahnya itu menjadi pusat lamunanku pagi ini. Mimpi indah yang tamat mendahului pukul empat itu membangunkanku lebih awal. Lagipula, tidak akan ada yang melarang bersiap menyambut hari lebih pagi.

Sambil terus mengingat potongan mimpi yang sedikit terhapus, lantunan adzan berkumandang menyadarkan umatnya bahwa kita hidup di dunia nyata. Perlu ibadah sama Yang Maha Kuasa. Hati memang terpanggil, namun terkadang  raganya tertarik magnet.

Bangkit dari tempat bermagnet kuat itu sedikit berat. Kau tahu, magnet yang sudah saling tarik menarik sedikit sulit dipisahkan. Kasur warisan kakek memang tidak ada tandingannya. Bahkan terlalu nyaman untuk anak sekolah yang terlalu banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Segera aku bangkit dan disusul Kak Airin, Ayah, Ibu, dan ketiga adikku menyelesaikan kewajiban pagi itu.

Dengan menyingkap kain gorden jendela, nampak sebuah peristiwa yang amat rugi jika dilewatkan. Sun rise, nama yang keren. Begitu cerah mirip warna gradasi di buku gambar Kak Airin. Awan putih menghias langit biru dengan indah ditambah semburat cahaya jingga turut menunjukkan indahnya semesta. Tak hentinya aku bersyukur atas limpahan rizki yang melimpah ruah. Fajar memang punya cerita hebat untuk disimpan.

Setelah pertunjukan langit itu usai, semua melaksanakan peran masing-masing. Ayah sibuk dengan motornya, Ibu sibuk dengan dapur, dan tentunya Kak Airin mengatur kegiatan pagi adiknya. Kecuali aku. Aku bisa mengatur kebutuhan dan waktuku sendiri. Tidak butuh waktu lama, hanya 30 menit selesai.

Seragam putih biru dengan badge hijau kukenakan dengan rapi. Masalah atribut, sudah pasti aku mengenakannya dengan lengkap. Ayah mengajariku untuk selalu disiplin di hari apapun. Untuk masalah rambut, Kak Airin memberiku pita rambut putih. Katanya itu membuatku tetap imut.

Kugendong ransel merah marun pemberian sepupu kebanggaanku menuju meja makan. Sudah banyak makanan berjajar namun belum tersentuh juga. Apa boleh buat, aku hanya bisa duduk manis menunggu yang lain kemari. Sudah menjadi kebiasaan bahwa jikalau satu anggota keluarga merasakan enak, yang lain juga sebisa mungkin ikut merasakannya. Itulah didikan Ayah yang ingin anaknya senantiasa saling membangkitkan.

Setelah semuanya berkumpul, Kak Airin menyediakan makan di setiap piring. Tugasku hanya memimpin doa sebelum makan sebagai pembiasaan. Setelah semua kegiatan di meja makan usai, ketiga adikku yang akan membereskan semuanya karena sekolah mereka dimulai pukul 9. Tak lupa, juga berpamitan kepada orang tua saat akan berpergian.

Sepasang sepatu pantofel melekat di kakiku. Aku siap menyeberang. Dari rumah khas Jawa warisan kakek, beralih ke rumah bergaya Belanda dengan halaman minimalis. Rumah milik Paman Deka itu masih mempertahankan struktur bangunan sejak awal rumah itu dibangun. Tidak mewah, namun tetap indah dipandang.

"Man, sekolah yuk. Aku udah siap dari tadi" ajakku dengan teriakan heboh.

"Tunggu Imel ya kakak syantik" sahut gadis cantik dengan rambut acak-acakan sambil lari ke kamar mandi.

Tentang SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang