1. Manusia dan Kutu Buku

32 23 83
                                    

Manusia itu egois
Datang karena sepi
Meninggalkan karena tak sehati
Menjatuhkan karena iri dengki

-o0o-

"Huh, melelahkan juga ternyata," gumam Shahira sambil mengusap peluh yang sedikit bercucuran di pelipisnya.

Shahira baru saja tiba di sekolah. Ini hari pertamanya masuk setelah melewati beberapa penyiksaan MOS yang tak dapat ditampik menyenangkan juga.

Meskipun jarak rumah Shahira lumayan jauh dari sekolah, ia lebih memilih berangkat jalan kaki saja. Shahira tak ingin menjadi beban dan dianggap selalu merepotkan. Karena ia adalah anak pertama.

Anak pertama sudah pasti dituntut untuk menjadi mandiri, harus kuat dan mampu berdiri sendiri, tak peduli meski harus tersakiti berkali-kali. Ya, itulah nasibnya menjadi anak pertama.

Terdengar miris memang, tetapi itulah yang membuat sosok Shahira menjadi pribadi lebih baik. Tak manja, tak loyal, patuh, dan berambisi besar.

Shahira memiliki ambisi besar, itu benar. Fakta yang tak dapat dielak. Lihat saja sekarang. Ia sudah duduk dengan tenang di kursi dengan sejumlah buku tebal-tebal miliknya, tak memedulikan teman-temannya di kelas.

Shahira memang sosok yang tak pandai bergaul. Ia lebih cenderung menutup dirinya, bahkan tak segan untuk bersikap dingin pada temannya, hingga membuat ia tak kunjung akrab dengan siapa pun.

Contohnya saja seperti ini. Di saat orang lain sibuk mengakrabkan diri dengan teman baru, Shahira malah sibuk membaca buku, seakan-akan orang-orang yang ada di kelas itu transparan, tak terlihat.

Shahira benar-benar orang yang cuek. Ia tak menghiraukan keributan-keributan yang terjadi karena ada yang sebagian bertemu teman lama, ada juga yang baru kenal langsung saling heboh karena satu frekuensi.

"Yo, Wa, ketemu lagi kita di sini!" seru Aleo Aginando menyapa teman sekelasnya dulu semasa sekolah menengah pertama.

"Hahaha, iya, nih. Bosen juga aku ketemu kau terus," balas Salwa Aulia bergurau anggun.

"Cih, kau pikir aku tidak?" sinis Aleo tak mau kalah.

"Sudahlah kalian ini," tutur Ardy menengahi sebelum terjadi perdebatan yang tak kunjung usai karena dua manusia tak kenal tempat dan waktu ini.

"Ardy?" panggil seseorang menyela.

"Ilham," sahut Ardy sedikit terkejut.

"Ah, ternyata kau benar Ardy. Hallo, apa kabar, Dy?" tanya Ilham ramah, tipikal good boy sekali.

"Baik. Kau gimana, Ham? Btw, di mana Ryan? Biasanya kalian selalu bersama," seloroh Ardy dengan ciri khasnya.

"Baik. Aish, aku sedikit tersinggung dengan hal itu," jawab Ilham bercanda juga.

"Hahaha. Aku serius, di mana dia?"

"Hello gaes, aku di sini," celetuk seorang laki-laki dari arah pintu dengan lantang, sontak membuat atensi semua orang tertuju padanya.

"Anak nakal itu," desis Ilham sedikit kesal dan malu dengan tingkah sahabatnya itu.

"Wah, Ardy, tak kusangka kita bertemu di sini setelah sekian lama tak berjumpa," ujar Ryan tanpa salam, tanpa sapa langsung menorobos masuk.

Ardy hanya menanggapi dengan senyum tipis. Ia pun tak menyangka akan bertemu dengan dua serangkai dengan sifat yang berbanding terbalik ini.

Ilham dan Ryan adalah sahabat dari masa taman kanak-kanak. Sungguh lama, bukan untuk ukuran waktu persahabatan mereka?

Kau SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang