"PARA SANTRI SIAP SIAP. JAM SEMBILAN KITA BERANGKAT."
Para santri putri yang sedang melakukan berbagai kegiatan nampak mempercepat aktivitasnya setelah mendengar pengumuman dari lurah pondok tersebut.Ada keceriaan yang timbul dari rona - rona muka nyaris tidak pernah tersentuh make up.
Vina memerhatikan sekelilingnya.
"Memangnya berangkat ke mana, ya?kok sepertinya para santri gembira banget."batin Adiba."Kak Adiba mau ikut gak?." Tanpa disadari Adiba syakilla sudah ada di belakangya.
"Ahh kak Adiba mah ngelamun terus."
"Ehhh,, iya maaf tadi kamu ngomong apa?"
"Kak Adiba mau ikut nggak?"
"Ke mana,?"
"Ambil kayu."
"Dimana?"
"Di Hutan cilandak kak, sekitar setengah kilo dari sini. Ikut?"
Adiba berusaha mengukur kekuatannya.
"Setengah kilo meter dari pondok, belum lagi perjalanann yang menanjak , menurun juga berbatu. Bisa somplak ni kaki."batin Adiba membayangkan perjalanan yang akan di laluinya.
Adiba Mulai bimbang.
"Tapi mengapa santri MH justru tampak gembira mendengar pengumuman itu? Pasti ada hal menarik!"Adiba merasa ditangtang dengan ke kepoannya.
"Adiba ikut!." Putusnya.
Santri santri MH memang rata - rata gesit. Tidak sampai setengah jam, tempat yang mereka tuju sudah terlihat.
Tumpukan kayu - kayu besar bersatu dengan ranting - ranting dan juga Daun kelapa kering*Blarak
Adiba hanya terbengong menyaksikan teman - teman yang cekatan membongkar tumpukan kayu lantas mengikatnya dengan tali kayu.Ia ingin sekali membantu. Namun keraguan lebih dulu menyergapnya. Lepas sudah satu kesempatan berbuat baik gara - gara rasa malu.
"Kak Adiba kuat bawa kayu, tidak?" Tanya Ainun yang membawa dua ikat kayu di bahu kanan kirinya.
Melihat cara Ainun membawa saja Adiba sudah ngeri, Terbayang lagi perjalanannya, Membawa badan saja ia sudah Lemas apalagi membawa kayu sebanyak itu.
"Yasudah, kak Adiba bawa blarak saja.ini!"
Asiba Menatap Ainun dengan oenuh terimakasih.
Sepanjang perjalanan pulang, Adiba terus saja berfikir. Di banding kehidupannya yang terbiasa mewah dengan kehidupan para santri Miftahul huda sangatlah jauh. Sudah harus memasak sendiri, pakai kayu lagi! Benar benar berasa di zaman prasejarah!.
Padahal di rumah saja yang memakai kompor Adiba Jarang turun ke dapur untuk membantu Bibi memasak.Gerbang MH melambai - lambai.
Sesampainya di kamar, langsung saja Adiba dudik menyelonjorkan kakinya.di sekanya keringat yang membanjiri wajahnya.
"Capek ya,kak. Kak Adiba Mau saya pijitin?." Tawar Ainun
"Emangnya bisa?."Goda adiba.
"Wahhh__ saya ahlinya, mau coba?".
Tanpa menunggu jawaban "iya" atau isyarat lain dari Adiba , Langsung saja tangan Ainun bekerja.
Mata Adiba mengerjap ngerjap keenakan.
"Perjalanan tadi jauh, capek lagi. Tapi temen temen MH tanpak senang, kenapa ya?"
"Emmm, itu"
"Yakan jarang jarang kita boleh keluar. Lumayan bisa sambil cuci mata."
"Owhh gitu."
Trekte... tektek .....dunggg....
( anngap aje suara bedug/ tabuh,bukan tekdung lala lala yee )Tabuh zhuhur berbunyi. Selang menit kemudian. Terdengar adzan.
"Wudhu yuk!" Ajak Ainun.
Aduh mamae rasa cape ajah belum hilang , sudah harus sholat dzuhur berjamaah. Padahal setelah itu langsung mengaji. Makan siang seperempat jam, lalu ngaji lagi."batin Adiba
Author
"Sabar jangan mengeluh. Namanya juga masih apadtasi!."
Adiba
"Adaptasi thor!bukannya Apadtasi.!"
Author
Yaudah si mangap, jangan marah" cepet oma - oma nantinyee__.
Adiba
"Ck. Bodoamat!"
Sekian dahulu dari saya dikarenakan Adiba ngambek, jadi tunggu part 6 yoo😚
Maaf juga ni ye part sekarang sedikit, karena ada kesalahan tenis!*teknis beg*.
Semoga kalian suka cerita yang semuraut alias gak jelas ini!Happy reading💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiba ( On Going)
Teen Fiction"Bertemu karena kebencian dan disatukan karna paksaan akankah berujung saling memaafkan." Yuk yuk mampir di cerita yang receh ini😀 BTW JAN LUPA VOTE AND COMMENT😊