Bagian 16: No but Yes

1.3K 228 17
                                    


Diharapkan saat atau sesudah membaca Story ini, beri vote hanya dengan menekan simbol bintang pojok kiri di bawah! easy right? Yes, Hanya dg begitu usaha penulis terbayar . And so readers give support to my story 😉

Thankyouuu🖤

Jangan jadi pembaca yg menjengkelkan. Tidak Tau bagaimana Cara menghargai 😒

.
Notice: Typo bertebaran, jadi harap dimaklumi😌
.

"Jeno-yaa! Akhirnya ketemu juga, huh besar juga nyalimu ternyata!" Gadis berstelan jas putih hingga selutut itu tampak mengatur deru nafasnya yang tidak teratur. Seperti orang habis berlari dan itu benar.

"Hehehe aunty aku hanya pergi mencari angin segar saja kok!"

"Hoek~" Muntah jisoo

"Paman gwaenchana?" Khawatir Jeno. Jisoo mengangguk.

Brugh!

"Paman bodoh~" Teriak Jeno bersimpuh disamping tubuh Jisoo yang sudah tergeletak di atas trotoar.

Orang yang berlalu lalang, hanya menatap mereka sekilas lalu pergi melewati mereka.

"Siapa dia? " Tanya Wanita berstelan jas dokter itu, Irene kim. Jeno mengangkat kedua bahunya, menyatakan kalo dia juga tidak tau siapa pria yang tumbang tersebut.

Irene pun menghampiri jisoo lalu bersimpuh melepas tali masker yg bergantungan ditelinga jisoo. "Jisoo?" Gumam irene lalu kembali mengaitkan kembali tali masker itu pada tempat semula. "Jisoo siapa aunt?" Tanya Jeno.

Irene menatap Jeno sebentar sebelum akhirnya dia mengambil senter medis dari saku jasnya, menarik keatas kelopak mata jisoo memeriksa matanya bergantian. Setelah itu beralih meraih tangan jisoo memeriksa denyut nadinya lalu Irenepun membawa telinganya menempel diatas dada jisoo, mendengar kerja detak jantung jisoo. setelah itu ia memanggil ambulane lewat ponsel pintarnya.

Sebenarnya jarak hospital dari lokasi mereka lumayan dekat, tidak jauh.. Karna tubuh jisoo yang besar dan Irene sadar kemampuan otot-ototnya untuk mengangkat beban berat sangat tidak memungkinkan. Serta disaat meminta pertolongan pada orang yang berlalu lalang tidak ada yang perduli.

.

Sekarang jisoo telah berbaring di atas ranjang rumah sakit, ruang VVIP. Jarum infus sudah tertanam ditangan kanannya.

"Eoh aunty lihat, paman itu menangis!" Ujar Jeno menunjuk ke arah sudut mata jisoo yg tertutup tapi mengeluarkan air. Jeno pun membawa ibu jarinya menghapus butiran bening yang orang-orang sebut itu berharga.

Irene menoleh setelah merapikan alat-alatnya. Terharu menangkap perlakuan manis Jeno tadi terhadap pasiennya yang tak lain adik iparnya sendiri serta yang tak lain daddy dari anak kecil itu keponakannya.

Bola mata Irene berpindah memandang wajah jisoo. Menyedihkan, kira-kira kata yang terlintas sekarang diakal pikirannya untuk sang pemilik bibir love yg terbaring lemah di ranjang sana.

"Aunty~ kenapa wajah paman bodoh ini sangat mirip sama Jiya?" Irene kembali mengedarkan pandangannya menatap Jeno. Menghampiri Jeno yg duduk disamping ranjang jisoo. Membawa tangannya mengelus rambut Jeno.

"Kim Jeno, kenapa kamu memanggilnya dengan tambahan 'bodoh' humm? Itu tidak sopan terhadap orang yang lebih tua darimu!" Beri tau Irene lembut. Mengalih pembicaraan mungkin.

"Emm maaf aunty.. Tapi paman itu mengataiku anak kucing! Jelas aku anak manusia! Mana ada anak kucing yang berwujud seperti diriku. paman itu juga menyuruhku berhati-hati kalo berjalan padahal dia yang menabrakku dan lagi paman itu juga bodoh karna mabuk! Aunty juga pernah bilang kalo orang pemabuk itu sangat merugi, menghambur uang, merusak diri. Bukankah itu juga dinamakan bodoh?"

You love me too *Jensoo*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang