4

28 6 0
                                    

Althair mencoba duduk menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia masih heran dengan sosok bayangan di tangga sekolah tadi. Pada akhirnya Agatha menghela napas panjang, mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamarnya.

Sepi, itulah yang dirasakan oleh Althair sejak lima tahun lalu. Orang tua yang gila kerja pulang ke rumah pun jarang, Althair tahu mengapa orang tuanya seperti itu. Itu karena kesalahan Althair sendiri, ia memejamkan matanya memutar kembali kejadian lima tahun yang lalu.

Flashback on

Hari ini pengambilan raport semester pertama di SMP DWI DHARMA, para orang tua murid diminta untuk ke Aula sekolah karena pengumuman juara kelas akan di umumkan di sana.

"Hebat, Nak! Mama dan Papa bangga sama kamu," ujar Dina—Mama dari Alariq dan Althair. Ia tersenyum haru menatap anaknya.

"Makasih, Ma." Alariq memeluk Mamanya dengan erat.

"Kita harus rayain keberhasilan kamu," ujar Irfan—Papa dari Alariq dan Althair. Ia ikut tersenyum haru.

Alariq mengangguk dan tersenyum manis.

Tanpa mereka sadari seorang anak laki-laki menatap tajam kearah mereka.

"Terus aja si Alariq, nggak guna!" Althair tersenyum sinis dan melangkah pergi.

Sekarang Alariq dan kedua orangtuanya sudah di mobil, mereka akan merayakan keberhasilan Alariq di rumah. Alariq tersenyum karena ia bangga dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba Alariq teringat dengan saudara kembarnya—Althair. Sedari tadi ia tidak melihat kembarannya. Kemana anak itu?

"Ma, Pa. Althair dimana? Kok aku gak liat," tanya Alariq kepada kedua orang tuanya.

Dina yang mendengar itu mendengus pelan. "Mama sama Papa gak tau dia dimana, udah biarin aja ya."

"Tapi, Ma, kita nggak bisa ngerayain tanpa Althair."

"Alariq, sudahlah biarkan saja," ujar Irfan menengahi, sebenarnya ia tidak suka dengan pembahasan ini. Alariq yang mendengar itu menghela napas berat.

Sesampainya di rumah Dina segera menyiapkan makanan yang tadi sempat dibeli saat pulang. Ada banyak sekali hidangan diatas meja salah satunya makanan kesukaan Alariq, gulai ayam.

Mereka bertiga terlalu asik sampai-sampai tak menyadari keberadaan Althair di ambang pintu.

"Ma, ini enak banget!" mata Alariq berbinar merasakan makanan kesukaannya.

"Iya dong, Sayang. Ayo makan yang banyak!" Dina tersenyum manis sedangkan Irfan menggeleng-gelengkan kepalanya dan tertawa kecil.

Althair baru sampai di rumah dan langsung disuguhkan pemandangan tak sedap baginya. Tangannya mengepal saat melihat Mamanya menyuapi Alariq. Karena tak ingin melihat lebih lama ia pun berlari ke kamarnya yang berada dilantai dua.

Alariq menerima suapan Mamanya dan tertawa kecil saat mendengar kisah lucu yang diceritakan oleh Papanya. Disela-sela makannya pandangan Alariq mengarah ke Althair yang berdiri diambang pintu, saat hendak memanggilnya Althair sudah terlebih dahulu berlari ke kamarnya.

Ia pun dengan segera mengejar Althair.
"Alariq!" panggilan Dina maupun Irfan, Alariq hiraukan.

Althair membuka pintu kamar dengan kasar, ia kesal, marah, dan kecewa. Mengapa orang tuanya selalu mengutamakan Alariq? Apa karena dirinya bodoh sedangkan Alariq pintar?
Althair lelah, mengapa dirinya selalu dibeda-bedakan dengan Alariq? Dunia tidak adil! Pikirnya.

Tak tahan, ia pun segera mengambil obat di laci nakas. Itu obat penenang bagi orang yang mengalami masalah mental atau psikisnya terganggu. Saat hendak meminumnya tiba-tiba sebuah tangan mengambil alih obat itu ternyata itu Alariq.

Agatha's Journey In Search Of RiddlesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang