4. Sebuah Pilihan

128 16 3
                                    

——∞Happy Reading∞——

"Pak, saya mohon jangan bawa suami saya," kata Bunda Nawa dengan memelas kepada dua orang berbadan kekar yang menyeret suaminya. Air matanya mengalir deras berharap mereka memiliki belas kasih.

"Nggak bisa! Suamimu tetap kami bawa!" balas salah satu dari mereka yang berambut gondrong.

"Tolong, Pak. Setidaknya tunggu anak-anak saya pulang."

"Nggak ada menunggu lagi! Selama ini kami udah cukup sabar menghadapi kalian. Kali ini nggak ada toleransi lagi!" ujar temannya yang memakai kaos hitam pendek hingga memperlihatkan tato di lengannya.

"Emang anakmu kemana? Jangan-jangan kabur lagi. Udahlah! Kami nggak punya banyak waktu. Bawa aja dia."

Kedua orang itu membawa Ayah Abyaz keluar rumah. Banyak tetangga yang menonton kejadian ini. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak menolong karena tidak ingin ikut campur lebih jauh.

Bunda menahan lengan pria berambut gondrong itu. "Jangan bawa suami saya, Pak."

Pria itu menarik tangannya kasar hingga membuat Bunda Nawa sedikit oleng. "Kami udah ngasih waktu seminggu buat berpikir, tapi nyatanya? Kalian nggak memberikan keputusan apapun. Jadi, sesuai perjanjian suamimu harus terima konsekuensinya! Ini perintah dari Bos."

"Lagian udah dikasih tawaran enak malah sok-sokan nggak mau. Tinggal terima apa susahnya sih. Kan enak bisa besanan sama orang kaya," timpal pria bertato.

Ayah Abyaz sudah pasrah diseret oleh mereka, tapi beliau tak tega melihat istrinya yang memohon seperti itu. Mata sayunya menatap sendu sang istri.

"Nggak papa, Mas dibawa. Mas ikhlas. Kebahagiaan anak-anak paling penting, terutama untuk Adek. Kamu jaga mereka baik-baik, ya," tuturnya.

"Mas...." Bunda Nawa menggelengkan kepalanya kehabisan kata-kata.

"Halah, banyak drama! Buang-buang waktu aja! Ayo!" Dua pria itu kembali berjalan tak menghiraukan tangisan pilu seorang istri yang suaminya dibawa secara paksa.

"Berhenti!"

Semua orang menoleh ke arah sumber suara. Di sana Diaz baru saja turun dari motornya bersama sang adik.

Dia menghampiri dua orang itu dan berdiri di hadapan mereka dengan tatapan tajam. "Berapa sisa utang keluarga saya? Biar saya yang melunasinya."

"Tiga puluh lima juta. Itu udah sama bunganya," jawab pria berambut gondrong.

"Baik, sebutkan nomor rekeningnya." Diaz membuka ponsel bersiap mencatat.

"Jangan lakukan itu, Diaz! Uang tabunganmu buat masa depanmu sendiri juga buat bekalmu saat menikah nanti," sela Ayah Abyaz yang tak ingin melibatkan anaknya dalam masalah ini.

Beliau tahu, Diaz pasti akan menggunakan uang tabungan yang dikumpulkannya selama beberapa tahun bekerja.

Diaz beralih menatap sang ayah sambil tersenyum menenangkan. "Nggak papa, Ayah. Tabungan Diaz cukup kok buat bayar utang. Nggak papa habis, yang penting kita terbebas dari utang. Uang bisa dicari, kebahagiaan nggak bisa dibeli."

Laki-laki itu kembali mengutak-atik ponselnya. "Sebutkan nomor rekeningnya. Sekarang juga biar saya transfer."

Dua orang pria itu saling berpandangan seolah memberi kode. Salah satu dari mereka juga ikut membuka ponsel, kemudian menyebutkan deretan angka nomor rekening yang langsung dicatat oleh Diaz.

"Tunggu! Jangan, Mas Diaz!" seru Azwa yang sedari tadi hanya menyaksikan. Dia sangat terkejut begitu sampai rumah sudah dipenuhi kerumunan tetangga apalagi melihat ayahnya yang diapit oleh dua orang itu.

Menikah Muda dengan Anak RentenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang