Bab 0

403 42 25
                                    

Wahai diri, mulut terkadang lupa cara berterus terang ketika memendam rasa sudah menjadi sebuah kebiasaan. Berkata tidak seraya menggeleng, menolak perjumpaan bersama alasan dibuat-buat, berkata lupa sambil mengigit lidah.

"Sudah lima tahun, A-Ding. Butuh berapa lama lagi?" Nyonya Cai meletakan pangsit hangat pada meja, menggeser kursi, duduk pada permukaannya sembari menyesap teh hijau hangat yang masih tampak mengepul.

Bukan bermaksud ikut campur, hanya kepedulian seorang ibu pada sang putra. Tatapan hampa dan penuh luka karena memendam rindu, membuat seorang wanita paruh baya tidak akan tega ketika menjadi saksi hidup selama beberapa masa.

Ada kalanya melihat lelehan bening menjalar di pipi, melihat tubuh bergetar sesenggukan bertumpu pada telapak tangan, meringkuk pada tepian balkon, menumpahkan sesak ketika rindu menjadi momok menakutkan karena rasa tidak pantas yang terus menetap.

Seorang ibu memiliki kepekaan berlebih, memiliki nurani untuk merasakan hal sama, mampu menangkap kesedihan pada gurat wajah berhias senyum palsu. Cai Ding tidak baik-baik saja. Ia terluka dengan pilihan yang ia buat. Pemuda manis itu patah hati.

Menangis serupa bayi. Sering mengurung diri ketika selesai bekerja. Lupa makan dengan benar dan memejamkan mata secara layak. Pemuda itu sangat membutuhkan Chen Yu. Ia meminta kehadiran pemuda tampan itu dalam ucapan kalbu.

Tidak ingin mengaku dan malu untuk meminta, ia menunggu layaknya pemuda menanti lamaran. Bukankah akan semakin sakit jika diteruskan tanpa ada kepastian, rasa takut tidak layak terlampau menguar, malu menggerogoti hingga ingin mengubur diri?

"Ma, apakah Chen Ge masih mengingatku? Pasti dia semakin tampan?" Cai Ding meletakkan sendok setelah memasukkan suapan terakhir pangsit hangat ke mulut. Ia meraih gelas, meminum perlahan, lalu meraih tisu untuk menyeka mulut.

Pagi hari yang seharusnya cerah, terasa muram ketika mengingat masa lalu membuat benak si pemuda manis menyesali keputusan yang ia buat. Selalu merasa tidak sepadan hingga enggan untuk menghampiri.

"Mama tidak bisa memberi jawaban apa pun, A-Ding. Mama hanya berharap, kamu tidak terlalu lama berada pada pijakan yang sama." Cai Ding mendesah lelah, beranjak seraya membereskan meja lalu membawa ke belakang.

"Ma, aku lembur hari ini. Kantor sedang mengadakan pemeriksaan gudang. Semua karyawan harus menunggu hingga selesai." Suara air menyentuh gelas menimbulkan bunyi berisik. Cai Ding meletakkan perlahan gelas dan juga piring pada wadah, menoleh ke belakang sambil menyerukan nama sang mama ketika tidak memberikan jawaban.

"Ma, apa Mama mendengarkanku?" Cai Ding mematikan kran, meraih lap, meletakkan kembali pada gantungan, lalu menuju ke ruang tengah apartemen sederhana tujuh lantai di tempat tinggal baru Cai Ding. Sandal rumah beradu dengan lantai terdengar jelas ketika kesunyian menguasai. Cai Ding mendongak seraya mempercepat langkah, celingukan melihat kamar.

"Ma?" Si pemuda manis menuju balkon, tetapi sang mama tidak juga terlihat. Ia menuju pintu dengan tergesa hingga sebuah tarikan di lengan, membuat Cai Ding menghentikan langkah.

"Merindukanmu, sangat, A-Ding."

TBC.

Keburu lupa. Maaf, sangat pendek.

Cai Ding 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang