Bab 5

142 23 3
                                    

Tidak suka dan kian membenci, Cai Ding meninju perut Fang Hao Xing tanpa kenal ampun. Ia menghajar si pemilik netra abu bersama air mata yang menetes tidak ada henti. Pemuda manis itu menangis. Ia melampiaskan kekesalan pada si pemilik resort mewah, sesekali menendang dan berulang kali memaki.

Ia menginginkan sang kekasih. Cai Ding hanya ingin miminta maaf. Si pemilik senyum manis berharap pertemuan ataupun pelukan hangat ketika rindu tengah berada di ujung kepala. Pemuda manis itu duduk pada permukaan tanah, mengusap wajah kasar, menangkup kedua sisi wajah ketika lelah tiba-tiba menghampiri.

Feng Hao Xing berusaha menetralkan napas, mengusap sudut bibir yang mengeluarkan darah, menatap sosok manis yang terlihat frustrasi setelah melakukan penyerangan membabi buta.

Rasa bersalah tiba-tiba menyapa, menggiring kepala agar berpikir jernih, pemilik netra abu itu mendekat perlahan seraya mengusap rambut hitam kecokelatan itu dan memberikan usapan-usapan lembut.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu." Feng Hao Xing berjongkok, duduk berhadapan, menarik tubuh pemuda itu hingga terjatuh pada pelukan.

"Jangan memaksaku, Tuan Hao Xing. Aku tidak bisa menerima orang lain. Butuh waktu sangat lama untuk bisa meyakinkan diriku sendiri." Bertahun-tahun menjalani kesendirian, Cai Ding selalu takut mendapatkan penolakan. Ia tidak memiliki kepercayaan diri berlebih untuk mengharap cinta seorang Chen Yu.

Cai Ding tahu, Chen Yu tidak akan pernah menolak kehadiran si pemilik senyum manis. Ia akan menerima putra Nyonya Cai tanpa ada keraguan. Sang perwira polisi tersebut tidak akan mempersulit pemuda manis itu walaupun sifat kekanakan masih sulit untuk menghilang.

Kekasih Chen Yu menjelaskan secara perlahan. Ia menceritakan banyak hal. Pemuda manis itu meminta pengertian di tengah rasa kecewa sekaligus terluka ketika perasaan telah dipaksa.

Putra Nyonya Cai mengutarakan rasa takut. Ia merasa was-was setiap saat. Si pemuda manis selalu merasa tidak layak berada di sisi Chen Yu hingga sering kali merasakan kecemburuan tanpa alasan yang jelas.

Namun, satu hal yang membuat Cai Ding selalu serasa buruk. Ego dan keinginan memaksa sering kali mengusai, tidak mau menerima nasihat, enggan mendengarkan permintaan Chen Yu dan harus berakhir seperti sekarang ini.

"Aku merindukan Chen Ge. Aku selalu memiliki ketakutan bahwa ia akan berpaling. Apakah aku terlalu serakah?" Cai Ding mengusap air mata secara kasar, melepas pelukan paksa, berdiri dan berjalan dengan tergesa menuju resort mewah di hadapan.

Feng Hao Xing tertegun untuk sesaat. Malu, merasa bersalah, mengembuskan napas kasar bersama rintihan kecil ketika tubuh terasa ngilu di sana sini. Ia mengikuti Cai Ding tanpa ada perbincangan, membiarkan pemuda manis itu menenangkan diri serta menjernihkan isi kepala.

*****

Beberapa jam berlalu. Cai Ding meringkuk pada sofa panjang yang menghadap pada jendela kaca besar. Tangis belum juga mereda, pemuda manis itu merindukan Chen Yu lebih dari apa pun. Satu nama yang selalu ia simpan, satu nama yang menghuni relung hati walaupun pernah terpisah jarak.

"A-Ding," Suara yang sangat familier tiba-tiba menelusup pendengaran, "merindukanku?" Menoleh seraya mendudukkan diri, Cai Ding menarik pemuda yang tengah menunduk tersebut hingga jatuh pada pelukan. Ia tidak mengindahkan tempat, tidak peduli beberapa pasang mata mengawasi, mengabaikan keberadaan Feng Hao Xing yang tengah mendengkus ketika sepasang kekasih tengah bermesraan.

"Baiklah, baiklah, baiklah, kami adalah makhluk tidak terlihat. Abaikan keberadaan kami." Feng Hao Xing meminta para penjaga resort untuk berjaga di luar, mengawasi keadaan sekitar, lalu meminta pelayan untuk mempersiapkan makan malam karena senja sudah menampakkan rupa.

Masih dalam posisi yang sama, pelukan yang sama, menghirup aroma memenangkan pada tubuh Chen Yu, Cai Ding mengulang kata maaf hingga tidak terhitung. Memeluk erat, mendekap rapat, si pemilik gigi kelinci mengutarakan kecemasan yang mendera ketika tengah berjauhan.

"Aku tidak pernah bisa berubah, bukan?" Cai Ding menelusupkan wajah pada leher si pemilik netra elang, memejamkan mata, menunggu jawab atas tanya yang meluncur dari bibir pemuda manis bersama rindu yang menggebu.

Feng Hao Xing mendekat perlahan, mendudukkan diri pada sofa kosong yang tidak jauh dari dua pemuda itu, menatap punggung si pemilik paras manis yang tengah tertidur. Sang pemilik rumah menyandarkan punggung pada sandaran sofa, menautkan jemari, menelisik sosok manis yang tengah terpejam di pelukan si empu paras tampan.

"Apa yang membuatmu mengubah keputusan, Tuan Hao Xing?" Chen Yu membenarkan posisi Cai Ding agar tidur lebih nyaman.

"Kekalahan. Hanya itu. Untuk pertama kali aku melihat ketakutan dari mata seseorang." Feng Hao Xing tersenyum miring, meminta si pelayan meletakkan wine pada meja.

"Cinta Cai Ding berada di antara kebahagiaan dan rasa takut." Si pemilik netra abu memejamkan mata. Ia mengingat dengan jelas kalimat panjang dari putra Nyonya Cai ketika mengamuk.

Beberapa hal mampu Feng Hao Xing pahami. Namun, ada satu dua hal yang ingin ia pastikan sendiri kebenarannya. Rasa takut yang teramat besar, tidak mungkin bersumber dari hal-hal kecil. Si pemilik resort mencoba menggali lebih jauh. Entah ia mendapatkan sebuah jawaban ataukah tidak.

"Seberapa sering kamu meninggalkan Cai Ding ketika tengah bertengkar? Seberapa lama kalian pernah berpisah? Seberapa besar ketulusan yang kamu miliki untuk pemuda yang selalu merasa bersalah ketika tidak bisa bersikap dewasa?!" Ada kemarahan yang terlihat pada mata Feng Hao Xing hingga ia, pun menenggak minuman secara kasar. Ketika air mata Cai Ding keluar bersama rasa bersalah yang entah sudah berapa lama, maka meminta penjelasan adalah hal yang patut ia cari tahu secara paksa.

"Tidakkah kamu melihat kesedihan di balik tawa kekasihmu, Kapten Chen?" Feng Hao Xing meletakkan botol wine pada meja, mengembuskan napas lelah, menengadah seraya mencengkeram rambut bersama ketidaktahuan dari masa lalu putra Nyonya Cai.

"Cai Ding sendiri yang meminta untuk berpisah, Tuan Feng Hao Xing. Aku---"

"Menurut seperti orang bodoh! Tsk! Siapa yang kekanakan dan siapa yang bersikap lebih dewasa! Cai Ding menjauh karena takut menyakiti! Dia takut kamu jengah! Cai Ding takut kamu berpaling ketika kekasihmu sendiri tidak bisa hidup tanpa melihat, memeluk, bahkan berada di dekatmu!" Kekesalan tiba-tiba menguasai. Sebegitu bodogkah kekasih Cai Ding hingga tidak mengerti keinginan ataupun cinta besar yang selalu berada di antara rasa takut si pemilik senyum manis?

"Shen Wu Ze, aku baru saja berbicara dengannya. Ia bahkan bisa melihat kesedihan dan keputusasaan pada mata Cai Ding. Kamu," Jari telunjuk Feng Hao Xing mengarah pada wajah Chen Yu, "payah!" Tepat sasaran. Chen Yu mungkin memiliki kesabaran jauh lebih besar dari Cai Ding. Namun, seberapa jauh si pemilik netra elang memahami perasaan sang kekasih ketika mendengar keluhan, rengekan, ataupun sikap manja yang sering hadir tiba-tiba ketika dua pemuda itu tengah bersama?

"Berikan dia kepadaku jika kamu tidak bisa memberikan tawa. Ia bukan manusia yang harus selalu mengalah, Chen Yu! Dia kekasihmu! Orang yang memilihmu sebagai calon pendamping hingga tidak pernah berhenti berjuang agar terlihat pantas ketika bersama dengan seorang Kapten Chen Yu!"

Tidak peduli jika ia mendapatkan kebencian lebih besar ketika mengatakan semua yang ada di kepala. Namun, setidaknya ada kebenaran yang tidak lagi ditutupi meskipun tidak secara langsung diutarakan oleh si pemilik netra kecokelatan.

"A-Ding, sebesar itukah rasa sakitmu?"

TBC .

Cai Ding 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang