1. Pindah

140 37 2
                                    




Jimin mengusak rambutnya dengan kasar, suara bising itu membuatnya tidak fokus pada apa yang ia tekuni. Ia menggerang di tempatnya.

"Arrgghh, aku bisa gila!!" Racaunya, melempar buku hingga menabrak pintu kamarnya. Tak peduli jika orang-orang disebelah rumahnya marah kepadanya. Ia juga marah saat ini karena suara bising yang mereka keluarkan.

Entah apa yang para tetangganya itu lakukan. Jimin awalnya tidak terlalu peduli, tapi semakin lama dibiarkan mereka semakin menjadi-jadi, membuat kepalanya berdenyut-denyut sakit. Ia tidak akan mempermasalahkan jika suara itu tak mengganggunya. Kenapa ia bisa tinggal di tempat yang bising seperti ini?

Namanya Park Jimin, seorang dosen di University ternama di Korea. Walau sebenarnya Jimin adalah seorang detektif terhandal seantero Korea. Orang-orang mengenal Jimin sebagai dosen saja, tidak tahu pekerjaan asli pemuda Park tersebut. Well, Jimin sengaja menyembunyikan identitas aslinya dan hal yang ia tekuni adalah menguak kasus yang terjadi sebulan yang lalu. Ia tengah menekuni kasus rumit itu.

"Ah, terserah. Aku lelah!"

Jimin membanting tubuhnya di kasur kesayangannya, mencoba untuk tidur dengan suara bising yang semakin keras di sisi kanan dan kiri. Tetangga Jimin memang tidak pernah bisa di ajak kompromi, pun pemilik gedung perumahan ini selalu ikut berpesta yang mereka adakan.

Pernah sekali Jimin di ajak oleh mereka untuk ikut bergabung bersama mereka, tapi dirinya menolak dengan mengatakan bahwa pekerjaannya masih banyak dan itu membuat mereka meneriaki dirinya yang begitu gila pada pekerjaan.

Toh, Jimin juga tidak peduli. Di raihnya benda persegi hitam miliknya, mencari-cari situs perumahan yang pas untuk kantung dompet miliknya. Walau sebenarnya, Jimin bisa saja membeli perumahan elit agar terhindar dari suara-suara bising penuh akan laknat itu. Jangan anggap Jimin tidak tahu apa yang mereka lakukan sebenarnya. Tak hanya pesta, mereka pasti juga menyewa para jalang untuk memuaskan mereka. Cih, pikiran mereka sungguh dongkol. Itulah yang selalu Jimin pikirkan.

Hingga akhirnya ia sudah niat untuk pindah ke tempat yang damai agar ia bisa fokus pada pekerjaannya. Mengemasi semua barang-barang miliknya dan pergi saat esok hari. Toh, uang penyewaannya sudah habis esok hari, jadi memilih pergi itu merupakan keputusan yang pas untuk Jimin.

"Ah, Pak dosen. Sayang sekali jika anda harus pindah. Apakah ada yang mengganggumu hingga kau tak nyaman?"

"Itu benar, para tetanggaku membuatku tidak nyaman!"

Kalimat itu tak Jimin ucapkan langsung pada istri dari pemilik perumahan ini. Ia hanya tersenyum kepada Bibi Dong yang mau memberikannya tempat tinggal.

"Tidak, aku pindah karena menemukan tempat yang yang dekat dengan tempatku bekerja. Terima kasih sudah menerimaku untuk tinggal di sini!" Jimin membungkuk sopan kepada Bibi Dong. Bibi Dong menatap Jimin sendu, hingga muncul pria yang merupakan suami dari Bibi Dong.

"Ah, Pak dosen. Ada apa kemari? Mau membayar sewa?"

"Tidak Paman, aku mau pindah ke tempat yang lebih dekat dengan tempat dimana aku mengajar!" Ujarnya dengan senyuman terbaik, padahal dalam hati ingin memaki pria dihadapannya ini. Bisa-bisanya ia bersikap biasa saja di depan istrinya sedangkan selama ini dirinya ikut berpesta di flat lantai yang Jimin tempati, terpuaskan oleh nafsu.

"Ah, sayang sekali. Tapi, semoga kau betah di tempat barumu!"

"Terima kasih. Paman Bibi, aku pamit dulu!"

"Ah iya, hati-hati Pak dosen!"

Lihatkan, semua mengenal Jimin dengan pekerjaannya sebagai dosen. Berhubung masih pagi, jadi Jimin pergi untuk sarapan terlebih dahulu, ia lapar karena belum makan saat pamit pindah. Masuk ke sebuah tenda di pinggir jalan yang menjual mie hitam.

"Bibi, mie hitam satu dengan ayam krispi, serta cola!"

"Siap!"

Puas mengenyangkan diri, Jimin lanjut untuk menuju rumah barunya. Ini sebuah apartemen yang terletak di jantung kota Seoul, dan ini juga dekat dengan kampus dan kantor tempat dirinya bekerja selama ini. Berbincang sebentar dengan sang repsesionis lalu pergi menuju kamar apartemennya. Sebenarnya Jimin bingung, kenapa tidak dari dulu saja ia pindah ke apartemen? Lagian, gaji yang ia dapatkan dari dua pekerjaannya itu lumayan sekali. Dia merupakan dosen pindahan dari kota kelahirannya, Busan.

Memilih mengendikkan bahunya. Sepertinya dulu ia ingin merasakan hidup di tengah hiruk-pikuk suara bising layaknya rumahnya dulu dan ketika bosan, berakhir dengan pindah yang tempat yang baru.

Tiga bulan bukan waktu yang lama, 'kan. Jimin itu sudah pusing sebenarnya lantaran tidak bisa fokus dengan suara-suara aneh di sebelah kanan dan kiri akibat ulah tetangganya, sekarang dia bisa merasakan kedamaian dengan tinggal di apartemen, dan pastinya ia membeli apartemen ini dengan uang hasil kerja kerasnya.

"Akhirnya!" Jimin menghempaskan tubuhnya di kasur empuk kamar miliknya sembari mendesah lega, benar-benar lega yang selega-leganya. Ia bisa menghirup aroma segar tanpa adanya bau alkohol seperti rumah lamanya.

Ia beranjak untuk membenahi semua barang-barang miliknya dan setelahnya bisa fokus dengan kasus yang ia tekuni. Ia merasa janggal dengan kasus tersebut. Sepertinya, tempat kejadian perkaranya di hilangkan. Benar-benar ada yang tidak beres.

Jimin memakai kacamatanya, membaca ulang catatan kasusnya sesekali tangannya bergerak acak, mengetik membalas pesan dari murid serta dosen lainnya yang rata-rata tengah menggodanya.

Jimin itu tampan, mapan dan rupawan, jadi jangan heran jika banyak orang di kampusnya yang kepincut dengan dirinya, tapi sampai saat ini Jimin tak minat untuk melakukan semua itu. Hidupnya memang tidak pernah susah kalau dilihat, tapi tetap Jimin selalu menolak ajakan yang selalu para murid atau dosen wanita lontarkan.

Puas membalas dengan cepat ia memblokir semua nomor orang-orang yang selalu mengganggu hidupnya. Toh, ia tidak peduli jika mereka marah, apa hak mereka melarang Jimin melakukan itu.

Ia menyandarkan tubuhnya sembari memijit pelipis. Sungguh, kasus ini membuatnya sakit kepala. Bahkan rekaman kasus ini seakan-akan di sembunyikan dari para detektif. Jimin jadi tidak bisa melacak lebih jauh kecuali turun tangan ke tempat kejadian perkara.

Jimin menatap kendaraan yang berlalu-lalang dihadapannya, ia mengamati jalanan dengan penuh khidmat. Tangannya masuk ke dalam saku celananya, menghirup udara segar dengan bunga-bunga yang tampak berguguran. Ini sudah mulai memasuki musim gugur. Jimin sangat suka melihatnya, mengingatkan akan drama-drama yang sering ia tonton. Daun-daun berserakan di pinggir jalan, membuat pembersih jalan jadi kewalahan akan banyaknya daun-daun tersebut.

Bibirnya membentuk kurva tipis. Kalau orang-orang melihatnya sekilas, mungkin ia terlihat seperti idol papan atas yang saat ini sudah melegenda itu. Bahkan saat ia berjalan ada yang berteriak kepadanya, mengatakan dia mirip dengan idola mereka. Jimin hanya bisa membungkuk sopan dan menggeleng kepada orang-orang yang mengatakan hal itu. Dia tidak ingin sombong, pekerjaannya hanya mengajar di sebuah kampus ternama saja, tidak ada niat untuk bermimpi setinggi langit itu.

Jimin sudah mantap dengan semuanya. Kepindahannya merupakan keputusan yang tepat. Jimin suka dengan suasananya.






T B C

Wih aku suka keramaian ini. Gimana sama bab pertama? Semoga tidak mengecewakan.

Dahmin belum ketemu ya di sini. Mungkin nanti, pokoknya kalian stay stuned terus sama book ini, okey


Adorable GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang