Palu 14💦

128 12 1
                                    

⚒ P A L U G A D A ⚒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚒ P A L U G A D A ⚒

⚒⚒

_____

Beberapa hari terakhir, Sakilla merasa ia tidak pernah pulang ke rumah yang dulu terasa begitu nyaman dan aman baginya. Rumah yang dulu penuh kehangatan dan canda tawa, kini berubah menjadi seperti neraka untuk gadis itu. Dulu, ia sangat senang ketika kedua orang tuanya berkumpul lagi setelah mengurus pekerjaan mereka diluar kota, sekarang, jika Mama dan Papa pulang, ia merasa hidupnya tidak tenang.

Setiap Sakilla baru saja membuka pintu utama, ia sering mendengar suara barang dibanting, Mama yang berteriak dan kata-kata kotor yang lolos dari bibir Papa. Mereka selalu bertengkar, tanpa tahu bagaimana perasaan seorang Sakilla yang terluka karena pertengkaran itu.

Terkadang, Sakilla berharap Satria tidak pernah punya urusan yang mengharuskan dia pulang terlambat ke rumah, agar saudara kembarnya itu juga mendengar pertengkaran kedua orang tua mereka.

"Kamu memang nggak becus jadi istri!"

"Kamu kira, kamu udah benar jadi seorang suami? Kamu nggak pernah tahu susahnya aku didik anak-anak, yang kamu tahu cuma kerja dan main sama jalang."

Sakilla mengambil air dingin sambil menghela napas, masih berusaha mengabaikan suara dari lantai atas.

"Aku udah urus surat perceraian kita dan besok aku akan kirim ke pengadilan!"

"Bagus, memang harusnya kamu pergi dari kehidupanku dan rumah ini!"

"Hak asuh anak harus jadi punyaku."

"Nggak, Satria harus ikut aku, kamu bukan Papa yang baik buat dia! Biar Sakilla ikut kamu dan jalang itu."

Genggaman Sakilla pada gelas di tangannya semakin mengerat, bersama langkah kakinya yang memberat setiap menaiki satu anak tangga.

Detak jantung Sakilla berdegup begitu kencang ketika sosok Papa berjalan menuruni tangga dengan kemeja yang lengannya di gulung sampai sebatas siku. Sosok yang dulu Sakilla pikir adalah superhero-nya, selain Satria.

"Killa, sayang. Kamu udah pulang, nak?"

Senyum itu, senyum palsu. Pelukan hangat dari Papa sama sekali tidak bisa menghangatkan Sakilla lagi dan membuat dirinya tenang.

"Gimana sekolah?"

Sakilla tersenyum tipis. "Baik-baik aja," katanya. "Papa mau pergi lagi?"

"Papa ada urusan sebentar, kamu istirahat ya."

Bahkan kecupan di puncak kepala Sakilla sama sekali tidak berarti apa-apa. Ketika Sakilla menatap punggung Papa yang mulai menjauh dan menghilang diujung tangga, dia tahu bahwa rumah tangga kedua orang tuanya tidak bisa diperbaiki.

P A L U G A D ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang