| Prolog |

19 3 5
                                    


Bahkan ayam yang disebut-sebut sebagai binatang pagi saja tahu kalau pukul 06.20-untuk seseorang yang memiliki janji interview kerja-masih terhitung terlalu pagi. Lebih-lebih satpam penjaga gerbang sekolah baru selesai sarapan dan bersiap untuk duduk santai di dalam pos sambil menyeruput segelas kopi hitam saat Aruka menyembulkan kepala diantara jeruji besi pagar sambil menyengir seolah kehadiran dia di jam segitu adalah hal yang normal.

Melihat raut wajah kebingungan dari lelaki tua-yang tidak berubah banyak sejak 10 tahun lalu, hanya helai rambut putihnya yang sekarang kian tampak-membuat Aruka merasa mungkin ini alasan ibunya teriak pagi tadi saat dia bilang akan berangkat.

"CV?"

"Sudah."

"Surat lamaran kerja?"

"Sudah."

"Kartu Keluarga?"

Aruka menghentikan kegiatan merias wajahnya dan mendongak melihat layar petak yang menampilkan wajah polos ibunya, "Seriously, Mom?"

Kiana mengangkat bahu, "What's wrong? Kamu bisa tunjukin silsilah keluarga kamu kalau-kalau ternyata malah ditolak."

"Silsilah keluarga kita gak ada hubungannya dengan pekerjaan ini, okay? Lagian siapa yang perduli se-kaya apa Papa dan se-terkenal apa Mama. Kalau aku emang gak layak untuk kerjaan ini, ya, berarti emang gak pantes," Aruka memutar bola mata.

"Well, selagi lo punya koneksi kenapa gak dimanfaatin aja?"

"No one ask for your opinion, Damar," seandainya fisik Damar sekarang ada di dalam ruangan ini- dan bukan di dalam sebuah layar petak yang mereka sebut laptop itu- pasti kepalanya sudah benjol sekarang.

"That is too much, lo cuma mau ngelamar jadi guru di sebuah sekolah, dengan gelar dan prestasi selama ini, pasti mudahlah,"

"ugh, like I don't know, Lilia," Aruka memutar bola matanya (lagi).

"Kenapa malah jadi video-call-group gini? It is supposed to be a familly time(?)" Kiana mengernyitkan dahi melihat wajah-wajah sahabat anak sulungnya yang ikut terpampang di layar.

"Gapapa dong, Mama Kiana, Damar 'kan kangen sama wajah Mama Kiana, btw, kok kelihatannya gak ada yang berubah ya? Masih persis banget kayak 10 tahun lalu,"

"Ah, Damar. Bisa aja kamu!" Kiana tertawa kencang.

"Karena kalian neleponnya di saat bersamaan! Lagian kenapa pada heboh deh. Ini cuma mau interview bukan mau nyalon jadi presiden,"

"Ini hari bersejarah sayang, wajar Mama kamu khawatir," Suara bariton dari sosok sang ayah yang muncul dari belakang Kiana lalu mengecup manja pipi kiri Kiana di depan sahabat-sahabatnya, membuat Aruka membelalak. Oh, lihatlah dua orang tua yang masih saling jatuh cinta ini.

"Okeeeeyyyy, terseraaaaah. Intinya, semuanya baik-baik aja dan berjalan lancar," Aruka buru-buru mengemas meja riasnya yang sempat berantakan.

"Oh iya, inget kita bakal ke tempat Raya hari ini? Hadiah kalian udah pada siap?" lanjutnya.

Lilia dan Damar menarik sebuah amplop sambil tersenyum, "Ready!"

Aruka tertawa kecil melihat tingkah mereka sebelum menyadari sesuatu, "Alan mana?"

"Lagi manasin mobil tuh di garasi, ntar gue bilangin deh, dia juga udah siapin hadiahnya kok," sahut Lilia.

"Okeee dehhh! Yaudah, udahan ya call­-nya guys? Mau berangkat nih!"

"Hah? EH-EHH! BERANGKAAAA-"

Lalu nada tut-tut menutup obrolan pagi tadi.

Namun, setiap kejadian buruk tidak selamanya buruk. Semua tergantung dengan cara kita memandangnya, bukan? Misal saja, seorang Aruka yang entah karena terlalu bersemangat untuk siap bekerja atau hanya tidak sabar melihat sekolah lamanya, jadi memiliki waktu banyak untuk sekedar bernostalgia dengan Pak Joe yang rupanya masih menjadi satpam di sekolah ini.

Terlabih dia sempat berkeliling melihat sekitar, banyak sekali perubahan yang terjadi. Namanya juga sudah sepuluh tahun. Namun, ada beberapa tempat yang tidak berubah; kolam renang dan bukit belakang sekolah yang masih terlihat seperti gudang tak terurus- dan kenangan di dalamnya.

"Bukan cuma lulusan dari Harvard University, tapi dengan segudang kegiatan volunteer, internship, dan prestasi ini...." Ibu Steffani sebagai kepala sekolah sekaligus orang yang mewawancarainya hari ini menggantungkan kalimatnya. Membuat Aruka kembali jatuh dari awan lamunan ke masa sekarang.

Wanita paruh baya itu mengambil napas berat, "Kenapa milih jadi guru disini?"

"Apalagi guru BK?"

"Gaji guru itu kecil, kamu tau 'kan?" lanjutnya.

Aruka menarik kedua ujung bibirnya. Dia tersenyum.

"Kalau berbicara soal tuntutan orang tua, Ibu saya sendiri sampai sekarang masih masang wajah cemberut ngeliat anak sulungnya yang sudah susah payah dididik hingga bisa sekolah di tempat ternama justru memilih untuk jadi guru biasa di sebuah sekolah."

"Kalau saya bilang karena cita-cita juga, rasanya kurang benar karena anak kecil dan remaja mana yang mau jadi guru BK?"

"Tapi, kalau Ibu penasaran, saya rasa mungkin jawabannya adalah karena usia 17 tahun,"

Ibu Steffani menautkan alis, terlihat bingung.

"Usia 17 tahun, saya melihat seorang gadis remaja yang kehilangan dirinya sendiri, terlalu lama memakai topeng dari orang tuanya ternyata malah membuat dia bingung, yang mana diri dia sebenarnya?"

"Usia 17 tahun, saya melihat seorang lelaki remaja yang saat disuruh membuat puisi tentang Ibu, dia justru memilih dihukum, katanya sih lebih sulit membuat puisi tentang sosok yang gak dikenal sama sekali daripada dihukum. Gimana bisa seorang anak tidak kenal dengan ibunya sendiri padahal masih tinggal satu atap?"

"Usia 17 tahun, saya melihat seorang gadis remaja yang mudah menyukai banyak orang, namun sangat amat membenci dirinya sendiri. Melihat fisiknya dicermin saja bisa membuat dia mual. Kok bisa usia semuda itu sudah punya kebencian yang amat besar dalam dirinya? Apalagi kebencian itu ditujukan untuk dirinya sendiri?"

"Usia 17 tahun, saya melihat seorang lelaki remaja datang ke sekolah memakai jaket bahkan disaat matahari sedang terik cuma buat nutupin luka lebam yang tiap hari selalu nambah dibadannya,"

"Mereka semua masih 17 tahun, mereka cuma remaja."

"Harusnya di usia segitu mereka nemuin harapan-harapan tentang masa depan. Tetapi, kenapa satu-satunya harapan yang terpikir cuma tidak ada lagi hari esok?"

Ya. Tidak ada hari esok.

Semoga.

.

.

.

Tanda Titik KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang