Tersedu begini adalah hal yang paling Aruka benci. Pasalnya, gadis itu sulit untuk menyembunyikan wajah merahnya. Padahal dia bukan tipe orang yang suka membolos, namun untuk hari ini sepertinya bisa dibicarakan. Sejak jam pertama dia sudah pamit menuju UKS untuk beristirahat.
Sakit perut adalah alasan yang paling ampuh.
Aruka berdiri tegap di depan jendela ruang UKS yang sepi. Tangannya bergerak membuka gagang jendela, membiarkan angin masuk dan bermain dengan gorden putih serta rambut lurusnya. Berharap angin dapat mengeringkan air mata yang sedari tadi tidak kuasa dia tahan, bahkan walau sudah mengumpat seburuk mungkin.
Bayangan perkataan ibunya tadi malam masih menguasai isi kepala Aru.
"Kerjaan kamu itu loh, cuma perlu belajar. Mama juga udah setuju buat batalin jadwal wawancara kamu kemarin demi kamu bisa fokus belajar, itu juga susah?"
"Anak macam apa kamu ini, bukannya ngebanggain, malah ngerugiin. Kamu mau ganti bayaran wawancara yang dibatalin kemarin?"
Sial, air mata itu makin deras saja.
"ngerengek mulu dah bocah!"
"lemah amat! Belom juga dipukul! Cuma dikatain doang, lo juga biasanya ngatain sahabat-sahabat lo, 'kan?!"
Aruka meledak. Kesal dengan kelemahan mentalnya.
"Yaudah si anj*ng! Nangis mulu ela-"
BUKKK!
"KAMERA GUE!!!!!!"
Satu teriakan melengking membuat Aruka spontan membalikkan badan. Pemandangan kamera yang melayang kearahnya menyambut gadis itu.
"TANGKAPPP!!!!"
Satu perintah yang cukup keras membuat Aruka panik dan buru-buru berusaha menangkap sebuah kamera DSLR yang terlihat cukup mahal. Untungnya, mendarat dengan sempurna di kedua telapak tangan gadis itu.
"Hhhhh!" hembusan napas berat terdengar sangat lega di telinga Aru yang juga melakukan hal yang sama.
"Selamat, untung aja," ucap lelaki dengan penampilan kusut itu.
Wajahnya cukup familiar. Aruka tahu dia. Raya Abercio. Si anak pendiam yang sempat mengambil popularitasnya di hari pertama masuk sekolah. Terlalu banyak gosip yang beredar soal lelaki itu. Mungkin karena dia baru bergabung di sekolahnya. Anak pindahan selalu jadi topik utama, bukan?
"Thanks ya, Ru." Raya mengulurkan tangan bermaksud meminta kamera kesayangannya.
Aruka masih mematung. Entah karena kejadian barusan terlalu memacu detak jantungnya hingga membuat otak gadis itu berhenti, atau dia hanya tidak tahu harus bereaksi seperti apa melihat ada seseorang yang menangkap basah wajah cengengnya.
"Lo Aru, 'kan?" Raya kembali angkat suara.
"E-eh, iya."
Akhirnya, dia bersuara juga.
"Makasih ya, sekali lagi." Kali ini uluran tangan Raya disambut oleh Aru, mengembalikan kamera itu pada pemiliknya.
"It's okay,"
"Kotak P3K dimana ya? Kayaknya kaki gue luka deh, kesandung pintu tadi pas masuk." Raya mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Sini coba gue liat,"
Aruka terlihat sudah bisa menguasai dirinya kembali. Keramahan gadis itu juga sudah kembali, atau lebih tepatnya dia sudah kembali memasang topengnya?
Melihat Raya yang terus meringis kesakitan saat sedang diobati, membuat Aruka sedikit kesal, padahal ini cuma luka kecil.
"Sakit banget ya?" Aru bertanya dengan lembut, berbanding terbalik sekali dengan perasaan kesalnya. Kalau saja ini Damar-sahabat kecil gadis itu-pasti sudah dia umpat dengan kata-kata kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanda Titik Koma
Teen Fiction[Warning: Triggering Content] "Simbol semicolon adalah simbol yang digunakan saat penulis bisa memilih untuk mengakhiri kalimatnya, namun memilih untuk tidak mengakhiri."