Semua diam.
Tidak ada yang berani bersuara satu pun. Satu-satunya yang terdengar di dalam ruangan itu hanya suara mesin AC yang sedang mendinginkan suasana mencekam ini. Kalau sudah seperti ini, bahkan cicak sekalipun takut untuk bersuara.
Suara pintu bergeser dari belakang kelas membuat semua orang menoleh. Aruka lantas terkesiap untuk beberapa detik sebelum akhirnya memasang muka tebal dan terus berjalan menuju bangkunya. Memang dia begitu cantik sampai semua menoleh?
"Ada apa?" Aruka berbisik pada teman sebangkunya.
Yang diajak berbicara hanya menunjuk ke arah depan kelas, diikuti oleh mata Aruka yang langsung melebar begitu melihat siapa yang berdiri di sana. Itu Damar. Bersama dengan guru Bahasa Indonesia yang sedang memasang raut wajah murka. Apa yang gadis itu lewatkan? Perasaan dia hanya pamit sebentar untuk ke toilet. Tiba-tiba suasananya sudah seperti sedang tes masuk Universitas begini.
"Bukan ketinggalan tapi malah gak nyelesaiin tugas sama sekali ya,"
"Kenapa? Kesiangan? Begadang semalem?" Bu Murni dengan nada bicara yang tinggi berhasil membuat seisi kelas kembali bungkam.
Damar hanya tetap diam.
"Kamu gak punya mulut? Kenapa gak nyelesaiin tugas dari saya?"
"Sengaja?"Damar masih diam.
"Apa susahnya bikin puisi tentang Ibu, sih?"
"Kamu gak punya orang tua?"
"Hah?"
"Ibu kamu udah gak ada?"
"Kalau gak punya harusnya jangan malah jadi nakal gini. Banggain Ibu kamu disana. Bukannya malah nambah-nambahin sampah masyarakat."Bu Murni berhenti sejenak. Kali ini dia menatap ke seluruh kelas.
"Denger ya, jangan mentang-mentang kalian sekolah di sini bayar, terus kalian mikir bisa seenaknya. Di sini tempat belajar, tempat buat nentuin masa depan kalian. Kalau gak mau diatur sama guru dan tugas gak usah sekolah aja sekalian. Masih banyak yang butuh sekolah."
Bu Murni kembali menoleh pada Damar, "Keluar kamu. Berdiri sana di depan koridor!"
Deg! Rasanya seperti tersambar petir. Jantung Aruka berdegup kencang. Damar memang seperti ini, dia tidak bisa berkutik dengan hal-hal yang menyangkut Ibu. Sejak dulu.
Sial, Aruka harus menyusul Damar. Tetapi Bu Murni pasti akan langsung melapor pada Ibunya. Semenjak mereka berdua memang dekat.
"Siapa lagi disini yang sok jagoan kayak Damar?" Bu Murni mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.
Suara berdecit dari bangku yang tergeser kembali menggerakkan semua kepala-kepala yang ada di kelas. Bu Murni memicingkan mata.
"Kamu gak bikin tugas juga?"
"Iya, Bu."
Ibu Murni menyentuh dahinya yang pening.
"Kenapa?"
"Saya gak punya Ibu,"
"Saya permisi keluar kelas, Bu," lanjutnya.Belum sempat Bu Murni meng-iya-kan, Raya sudah melenggang keluar kelas. Membuat seisi kelas terpaku pada kejadian barusan. Termasuk Aruka. Bisik-bisik mulai memenuhi ruangan tersebut. Hingga kebisingan pun terjadi. Bu Murni segera berteriak dengan lantang menyuruh mereka diam lalu melanjutkan pelajaran seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanda Titik Koma
Ficção Adolescente[Warning: Triggering Content] "Simbol semicolon adalah simbol yang digunakan saat penulis bisa memilih untuk mengakhiri kalimatnya, namun memilih untuk tidak mengakhiri."