"Taraaaa!!!!"
Lilia menyodorkan satu mangkuk es krim kesukaan Aruka yang sudah mencair, entah sudah dibiarkan berapa lama.
"Kemarin gara-gara kasus Raya gue sampai lupa mau ngasih ini ke lo,"
"Apaan nih," Aruka tersenyum senang.
"Es krim kesukaan lo!"
Aruka mengernyitkan dahi, "dalam rangka apa?"
Satu hal yang Raya mulai mengerti, berkumpul di bukit belakang sekolah setiap pulang ternyata adalah sebuah rutinitas. Tidak tahu kenapa mereka memilih tempat ini, padahal sudah tempatnya jauh, penuh dengan tumbuhan liar, ditambah ada banyak bangku dan meja-meja rusak yang dibiarkan begitu saja. Seperti gudang terbuka yang tak terurus.
"Kemarin lo bolos jam pertama, 'kan?" Lilia bertanya penuh selidik.
Aruka terdiam. Ia menunduk.
"Lo tau?"
Lilia berjongkok dihadapan Aru yang sedang duduk diatas kursi sambil menunduk. Perlahan dia selipkan anak rambut yang berjatuhan menutupi wajah Aru dibalik telinga gadis itu. Lalu menarik dagu mungil sahabatnya, memaksa Aru menatap dua bola matanya.
"Kemarin gue nanya ke guru matematika, katanya nilai paling tinggi dari hasil ujian kemarin itu 90. Dan dari seluruh kelas yang ada di Angkatan kita. Cuma satu orang yang berhasil dapat nilai tertinggi. Lo. Aruka Kanaya."
"Gue gak akan bilang lo masih termasuk orang beruntung, atau ngebandingin lo sama anak-anak yang nilainya masih jauh di bawah lo, karena gue tau tujuan lo apa. Tapi, jangan sampai lo ngerasa rendah karena gak berhasil bikin orang tua lo puas."Lilia mengeluarkan cermin dari saku kecil tas miliknya, "Lihat? Cantik gak? Cantik banget buset! Temen gue nih! Mau tau hal paling keren lagi? Dia jago akting! Suaranya juga merdu banget kalo nyanyi,"
Aruka tertawa kecil. Dia melihat Lilia yang mengarahkan cermin itu padanya.
"Bukan cuma modal tampang, tapi nih temen gue pinter banget! Percaya gak? Seangkatan cuma dia doang yang berhasil ngejawab soal-soal gak bermoral dari Si Botak!"
Kini tawanya semakin pecah. Lilia berhasil mengukir keceriaan pada wajah cantik Aruka.
Raya, Alan dan Damar yang memperhatikan itu dari belakang ikut tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. Lilia menghela napas puas.
"Inget ya, cantik! Kalo lo merasa dunia itu keras, masih ada gue dan tiga monyet di belakang ini yang bakal lebih keras sama lo," tambahnya kemudian.
Aruka tak kuasa menahan diri. Gadis itu langsung menarik Lilia ke dalam pelukannya. Dia benar-benar butuh Lilia di dalam hidupnya.
"Maaf kemarin gue gak bisa ngejar lo," bisik Lilia.
Aruka menggelengkan kepala, "Gue paham kok, makasih banyak, Lili."
"Dia baru aja bilang kita monyet," Bisik Alan pada Raya yang berdiri di sebelahnya.
"Dia baru aja bilang kita monyet," Raya melanjutkan bisikan itu pada Damar yang berada di sebelahnya, seperti menyampaikan pesan berantai.
Damar mendengus sinis. Mampus, dia lupa kalau mereka masih belum akur. Raya memutuskan untuk menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi.
"Nah, sekarang adegan sinetronnya udah kelar, yuk pulang!" Lilia buru-buru bangkit sambil membereskan barang bawaannya.
"EH? Udah mau pulang?" perasaan baru satu menit Aruka disitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanda Titik Koma
Teen Fiction[Warning: Triggering Content] "Simbol semicolon adalah simbol yang digunakan saat penulis bisa memilih untuk mengakhiri kalimatnya, namun memilih untuk tidak mengakhiri."