| 1 |

9 2 4
                                    

10 Tahun yang lalu...

"Say cheese!!!" Klik!

Satu jepretan sempurna menjadi pembuka hari untuk Aruka.

"Thanks banget ya, Ru!"

"Santai aja kali. Kalo perlu lo bisa deh video-call temen lo itu biar dia bisa liat gue langsung," Aru tertawa kecil.

"Wah bener ini boleh?"

"Boleh banget dong! Biar lo ga dikira tukang bohong," Aru kembali tertawa.

"Tau tuh! Emang kenapa sih kalo gue beneran sekelas sama artis fenomenal "Aruka Kanaya"? Susah banget kayaknya percaya," lawan bicara Aru terlihat menggerutu.

"Enak yaaaaa. Udah cantik, pinter, terkenal, eh baik banget pula! Gila, gue yang cewek aja demen banget sama lo, Ru." Celetuk salah satu teman sekelas Aru.

"Kalo gue nih ya, bisa punya satu helai rambut lo aja deh, kayaknya udah bangga banget dah," tambah teman sebangku Aru.

Seperti biasa, pergantian tahun ajaran. Artinya, kelas baru, teman baru. Memang sudah tradisi setiap naik kelas maka para murid juga akan diacak untuk menempati kelas baru yang artinya Aruka kembali menjadi pusat perhatian untuk teman-teman seangkatan yang belum pernah berada dalam satu kelas yang sama dengannya.

"Gila ya, si Aru. Mirip banget kayak di-iklan-iklan. Cantik buset!" celetuk salah seorang teman kelasnya dari kejauhan.

"Ya 'kan! Mana baik banget," sahut temannya menyetujui.

Firasat kuat tentang dirinya yang merasa diperhatikan membuat kepala Aru bergerak, menoleh kearah mereka yang melihat gadis cantik itu dari kejauhan. Aru melemparkan senyum manis.

"Tuh!!!! Barusan dia senyum sama gue! Ramah banget anjir!"

"Mau di tv, di sosial media, di kehidupan nyata juga dia emang beneran ramah ya,"

Hari pertama sekolah setelah liburan kenaikan kelas-yang entah kenapa semakin terasa pendek setiap tahunnya-dan kericuhan yang hanya dimiliki oleh kelas MIPA 1, menjadi titik awal kenangan untuk Aruka yang baru menduduki bangku kelas 11.

*****

"Berengsek..."
"Anji*g..."
"Bab*..."
"Bajingan..."

Walaupun diucapkan dengan nada rendah dan diiringi oleh jeda, tetap saja kata-kata umpatan itu membuat telinga gadis berkuncir satu tersebut risih. Rasanya seperti menaruh balsem pada daun telinga, panas.

"Kenapa lagi sih?"

"Hidung gue emang gede banget ya?"

Lilia tersentak untuk beberapa detik, "Makhluk dari planet mana yang berani ngomong gitu?"

"Itu tuh, temennya si Ira, video-call sama gue terus bilang hidung gue kelihatan lebih gede aslinya daripada di iklan-iklan,"
"Emang dia lahir tahun berapa sih? Gatau kali ya kalau ada teknologi yang namanya make-up?"
"Emang berengsek!"

Celoteh Aruka sembari meniup poninya yang hanya sebatas alis. Udara hampa di depan gadis itu kini tak lagi menarik, dia menatap dua lelaki remaja yang terlihat sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Lo pada dengerin gue kenapa?"

"Idih, suara rakyat lo?" sahut Damar yang terus menatap ponsel, masih tidak sudi melihat tingkah lebay teman masa kecilnya itu.

Aru hanya mendengus kesal dan beralih pada lelaki yang duduk di samping Damar, "Alan!"

"Hmmm?"

Melihat jari-jemari Alan yang kian sibuk menekan tombol di ponsel membuat Aru paham, lelaki itu juga tidak bisa diganggu.

Untuk seorang Aruka yang suka menjadi pusat perhatian, tidak dihiraukan begini hanya akan membuatnya semakin kesal. Kalau kesal dia akan menjadi manusia super berisik dan tidak bisa diam sampai kedua lelaki itu fokus pada dirinya.

"LILIAAAA!!!!"

Ah, ini dia. Aruka dan tantrum remajanya.

"Damar, Alan. Perhatiin bentar kek," Lilia mengelus kepala Aru yang sedang memasang wajah cemberut.

"Ini masalah besar loh, ada yang bilang hidung Aru lebih gede aslinya. Kalian denger gak sih?!"

"Seengganya pura-pura perduli deh," Tambah Lilia dengan wajah polos.

Satu pukulan mendarat mulus diatas kepala Lilia, mengundang semburan tawa dari Alan yang sudah tidak bisa fokus lagi bermain game.

"Pura-pura perduli mata lo!"

"Tha, woi! Anji*g! Kalah nih!" Sementara Damar masih heboh dengan game-nya.

"Lagian, lo itu cantik Aru. Lo sempurna. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kenapa harus perduliin komentar orang-orang sih?"

"Hah? Cewek yang ringan bibir ngomong kotor gini sempurna lo bilang?" Damar tak terima dengan perkataan Lilia barusan. Dia memang selalu panas kalau mendengar ada yang memuji Aruka.

"Fisiknya, Damar. Yang dibilang sempurna sama Lilia tuh fisiknya, bukan sifatnya." Alan menjelaskan.

"Gue gak lihat ada kesempurnaan sama sekali. Liat aja dia pendek gitu, mukanya gak simetris, bibirnya terlalu tipis. Mana sempurna?"

Aruka menatap satu per satu wajah temannya, "Ini kalian sifat-shamming sama fisik-shamming di depan gue banget?"

Damar dan Alan saling memandangi satu sama lain. Mencari celah kesalahan mereka.

"Memang anji*g, punya temen berengsek semua,"

"Cup, cup, cup. Udah gausah dengerin mulut para cowok, kayak gatau mereka aja." Lilia menarik kepala Aruka ke dalam pelukannya.

"Emang cuma Lilia temen sejati gue," Aruka memasang akting sedih.

"Walau kadang otaknya rada geser," tambahnya.

Sebuah notifikasi yang muncul dilayar ponsel Aruka memotong pembicaraan mereka. Kulit bibir gadis itu yang tadi merah alami berubah pucat pasi. Seperti disambar petir, dia buru-buru bangkit dari sandarannya lalu pergi meninggalkan Lilia yang kebingungan.

Lilia menatap Damar, menanti jawaban. Damar menunjukkan layar ponselnya, "Nilai ujian matematika udah keluar,"

"Ck!" Damar berdecak.

"Aru! Tunggu!" susul lelaki itu.

"Pasti bukan 100," Lilia bergumam sedih.

"Ntar pulang sekolah mau beliin Aru es krim?" Alan bertanya lembut.

Lelaki itu tahu, betapa Lilia ingin mengejar Aruka saat ini. Namun, itu bukan tugasnya. Karena, bukit belakang sekolah adalah satu-satunya tempat mereka berempat boleh terlihat bersama. Di dalam gedung mewah sekolah itu, tidak ada satu sudut pun yang boleh tau bahwa Aruka berteman dengan Lilia.

Kenapa? Hanya Lilia yang tahu jawabannya. Itu adalah keputusannya. Keinginannya. Bahkan Aruka saja tidak tahu alasan Lilia menginginkan hal itu.

Namun, dia tidak meragukan persahabatan mereka sama sekali. Walaupun hanya Damar saja yang mengejarnya, seperti sekarang. Tidak satupun teriakan dari Damar yang dia gubris. Aruka hanya ingin segera sampai di kantor guru, bertemu dengan guru matematika dan melihat dengan kedua bola matanya sendiri. Dimana letak kesalahan yang Ia buat?

Membawa pulang kertas yang berisi coretan merah angka "90" dan memberikan itu pada Ibunya? Siapa yang sudi?

Dia tidak sudi.

Tidak akan pernah.

Tanda Titik KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang