2. JANGAN FITNAH

2.6K 87 0
                                    

Aku  tidak menyangka dia---orang yang kubenci dan tak ingin ku sebut namanya---muncul di rumahku. Rasa yang sudah lama aku singkirkan itu ternyata masih ada, terbukti dengan reaksi tubuhku beberapa saat lalu saat bertatap muka dengannya.

Beruntung Mama cepat datang, jadi aku bisa cepat kabur kembali ke kamar, meninggalkan Mama yang menatapku bingung.

Beberapa saat kemudian Mama mengetuk pintu.

“Dinda … Dinda.” Mama terus memanggil namaku beberapa kali tetapi aku menutup mulutku.

Aku hanya menangis dan menutup telingaku dengan bantal dan membungkus seluruh tubuh dengan selimut. Perasaan takut dan kilatan akan kenangan pahit tiga belas tahun yang lalu muncul kembali.

Gara-gara orang itu, kehidupan rumah tangga Mama dan Papa semakin memburuk. Tidak jarang mereka bertengkar sampai Mama kabur ke rumah keluarga setelah kena hajar Papa sampai babak belur.

Setelah itu Papa akan  minta maaf lalu menjemput Mama pulang ke rumah. Beberapa bulan kemudian mereka akan kembali bertengkar dan Mama kabur lagi. Siklus itu terus berputar sampai aku menginjak usia ke 20 tahun. Andai aku bisa ngomong, pengen gitu nyuruh mereka cerai aja daripada hidup hanya saling menyakiti.

Sekarang sudah pukul 12 malam, tapi masih nggak bisa memejamkan mata. Aku mencoba menghubungi Thomas, tetapi nomornya nggak aktif. Mungkin dia sudah tidur. Sementara itu aku mendengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kamar. Nah ‘kan, baru aja diomongin.

“Kamu itu memang dari dulu nggak pernah sayang dengan keluargaku.” Suara Mama terdengar melengking, disambut dengan suara gelas pecah.

Aku menghembuskan napas kuat-kuat, melepaskan sedikit rasa sesak di dada. Mereka berdua nggak malu apa, selama puluhan tahun bertengkar terus. Apalagi di jam istirahat para tetangga.

“Buat apa sayang sama adik kamu yang nggak tau diuntung itu. Dulu dia kabur begitu saja setelah mencuri uangku, sekarang datang dan minta bantuan lagi. Nggak tau malu!” Suara papa lebih nyaring terdengar.

Aku menekan telinga dengan bantal lebih kencang lagi, supaya aku tidak mendengar pertengkaran mereka lagi, sambil memejamkan mata dan membiarkan air mata mengalir. Malam ini aku terlalu banyak menangis. Kapan semua ini berakhir Tuhan?

***  

Sekarang jam 3 sore, aku sedang bersiap-siap menunggu dijemput Thomas untuk memenuhi undangan syukuran ulang tahun anak Mala. tiba-tiba pintu kamarku diketuk.

“Siapa?” teriakku was-was.

“Mama masuk, ya.” Aku menghembuskan nafas lega. Untung bukan orang itu yang semalam datang ke rumah.

Tadi pagi tanpa aku bertanya, mama cerita kalau semalam orang itu hanya bertamu sebentar sekitar lima belas menit karena diusir oleh Papa, begitu mengetahui keberadaannya di rumah ini. Aku bersorak dalam hati. Baru kali ini aku begitu menyukai tindakan Papa.

“Ada apa, Ma?” tanyaku saat Mama sudah masuk ke dalam kamarku.

“Kamu punya uang lima ratus ribu? Mama pinjam ya. Boleh?” pinta Mama dengan suara pelan.

“Uangnya untuk apa, Ma?”

“Ada perlu,” jawab Mama singkat.

Aku mengambil dompet dan mengeluarkan lima lembar berwarna merah.

Mama tersenyum lalu mengelus pipiku. “Terima kasih, Nak.”

Sebenarnya uangku tinggal itu aja, tanggal gajian masih lama. Nggak apa-apa, mungkin aku bisa ngutang sama Thomas atau Becka. Dari dulu aku sudah berjanji akan berusaha membahagiakan Mama. Aku terlalu sayang sama Mama. Mungkin karena aku anak tunggalnya dan satu-satunya yang bisa memberikan kasih sayang kepada Mama. Jangan tanya Papaku bagaimana. Dia termasuk orang kedua yang aku benci karena sering menyakiti aku dan Mama.  

Notifikasi chat muncul di ponselku dari Thomas. Dia sudah nunggu aku di depan gang.

Emang dasar manusia lak--- rasanya aku ingin memaki dia, habisnya nggak pernah mau jemput aku di depan rumah, katanya belum siap ketemu orang tuaku. Sudah  berkali-kali protes bahkan aku sampai ngambek tapi percuma, ujung-ujungnya aku yang dimarahi karena dibilang suka ngatur.

Aku segera bergegas keluar kamar, berpamitan singkat dengan Mama.

“Lama banget sih!” Sambutan hangat dari Thomas begitu aku membuka pintu mobil.

“Maaf. Tadi agak lama pamitan sama Mama karena harus memutar otak mencari jawaban dengan siapa aku keluar. Untungnya Mama percaya aja waktu aku jawab sama temank.”

“Hmmm,” jawabnya dengan bergumam saja.

Ini kebohongan ke sekian kalinya yang aku lakukan kepada Mama, tiap aku jalan dengan Thomas.

***
Kami sudah sampai di rumah temannya Thomas, setelah singgah ke toko mainan anak dan memutuskan membeli mainan lego---menurut informasi anaknya sangat menyukai lego.

“Woi, Boy. Tambah seger lo.” Teman-teman Thomas menyambut kami---Thomas lebih tepatnya---dengan heboh.

“Tumben bawa pacar, biasanya kalau acara ngumpul-ngumpul gini sukanya jalan sendirian?” sambung seorang perempuan berkulit sawo matang dan berambut ikal.

“Orangnya lagi di luar negeri, makanya Thomas berani baca cewek ke sini,” sambung lainnya, tapi pernyataan ini membuat pikiranku nggak tenang.

“Lo semua jangan bawel. Kenalin ini cewek gue,” Thomas menarik tanganku dan memperkenalkanku ke teman-temannya. Aku menyalami mereka satu-satu.

Ternyata teman perempuan Thomas namanya Bella. Cantik banget orangnya, kayaknya model, langsing dan tinggi.

“Orangnya nggak mungkn balik ke Indonesia. Lupakan masa lalu dan serius sama yang ini aja.”

“Bacot.” Maki Thomas, tapi dari gerak-geriknya dia sedikit salah tingkah. Aku tak mengerti kenapa Thomas bisa bereaksi demikian.

“Din, kita cari Mala yuk. Kelamaan ini nanti mereka tambah dosa karena fitnah aku terus”.

”Eh fitnah apaan, gila.”

Aku tak sempat mendengar lanjutan sumpah serapah temannya karena Thomas buru-buru menarik lenganku dan masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan Mala dan anaknya.

Sebenarnya aku sangat menikmati waktu bersama teman-teman Thomas. Senang rasanya melihat keramaian malam ini. Aku akan berterima kasih kepada pacarku karena dia sudah membuatku bahagia hari ini. Namun, ada yang mengganjal hati karena candaan teman-temannya. Aku yakin candaan itu ada hubungannya dengan masa lalu Thomas.

Tiba-tiba pikiranku berkelana kesan-kemari. Thomas yang mulai posesif dan nggak pernah mengijinkan aku menyentuh ponselnya. Apa mungkin wanita yang mereka bicarakan itu pacarnya Thomas, tapi karena dia masih di luar negeri, Thomas pacari aku sebagai selingkuhannya?  

***
Bab tiga uploaf tahun depan ya😁
Buat yang sabar baca bab selanjutnya bisa lamgsung meluncur ke Karyakarsa ya, di sana bab 3 masih gratis.

Caranya silahkan baca pengumuman di bab 1.

Selamat Natal dan Selamat Berlibur, teman-teman.

God Bless u😘

Reupload 24 Des 2021

Terjebak Pacar PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang