5. KAMU PILIH DIA ATAU AKU?

1K 49 0
                                    

Jangan lupa follow wattpad-ku ya.

***
Aku sudah siap berangkat ke kantor tapi nggak berani keluar kamar, karena takut bertemu pria itu yang udah mulai menginap dari tadi malam. Aku diwanti-wanti Mama untuk nggak melapor ke Papa kalau adiknya menginap di rumah.

Awalnya aku keberatan, tetapi Mama memohon padaku. Katanya, pria itu sedang kesusahan karena tertimpa musibah. Jadi, Mama menerimanya tinggal di sini sambil dia menyelesaikan masalahnya. Terpaksa aku sebagai anak yang baik akan tutup mulut, walaupun harus menahan ketakutan akan pria itu.  Aku tersenyum lega saat nama Thomas muncul di layar ponselku. Dia akan menjemputku.

“Oke, aku tunggu di depan, ya.” Aku memutus panggilan.

Lima menit lagi Thomas udah sampai, aku sudah harus menunggunya di depan rumah. Meneguhkan hatiku untuk nggak gugup atau menunjukan ketakutan seperti tadi malam saat bertemu pria itu. Aku harus tunjukan ke orang itu kalau aku perempuan kuat dan nggak takut sama dia.

Aku menarik dan menghembuskan napas saat melangkah keluar kamar sambil mengucapkan mantra andalan di dalam hati, “Semua akan baik-baik saja.”

“Sarapan dulu, Nak,” panggil Mama sembari menata makanan di atas meja.

“Aku buru-buru, Ma,” sangkalku kemudian mengecup pipi Mama.

“Ini masih jam 7 pagi, biasanya kamu berangkat jam 8. Sarapan dulu.”

“Aku harus cepat ke kantor karena belum selesaikan laporan yang harus dimasukan ke manajer jam 9 pagi ini.”

“Ya udah, tunggu sebentar! Mama pindahin sarapan kamu ke kotak bekal. Jangan protes!” ancamnya sebelum berlalu ke dapur.

Kalau Mama udah bilang jangan protes ditambah dengan mata melotot, aku nggak bisa nolak lagi. Sebenarnya udah kebiasaan sarapan sebelum ke kantor tapi demi menghindari pria itu, aku harus bohong ke Mama soal laporan ke Manajer.

Sambil menunggu kotak bekal, aku bermain ponsel di ruang tengah. Terdengar salah satu pintu kamar dibuka dari dalam, aku mengangkat wajah, tetapi segera kusesali karena bersitatap dengan pria itu.

“Selamat pagi, Dinda,” sapanya.

Asli, merinding banget dengar suara dia. Pura-pura nggak dengar, aku terus bermain ponsel.

“Kamu udah besar ya sekarang, tambah cantik.”

Sekujur tubuhku reflek gemetar hanya mendengar bualan dari laki-laki penghancur masa depanku.

“Dinda kerja di mana sekarang?”

Aku masih bungkam dan sibuk pada ponselku.

“Kata Mbak Widya kamu udah punya pacar, berarti cowok yang bersama kamu saat kita ketemu itu pacar kamu?”

Duh, Mama kenapa harus cerita segala sih?

“Dinda ….”

“Bisa diam nggak sih?! Orang kalau nggak respon artinya nggak tertarik ngobrol sama kamu. Selama kamu tinggal di sini jangan pernah sekalipun berbicara dengan saya. Masih untung saya nggak ngelaporin Papa. Kenapa kamu harus balik lagi ke rumah ini, sih? Kenapa kamu nggak mati aja?!” seruku dengan deru napas memburu.

“Dinda!” sentak Mama yang datang dengan kotak bekal di tangannya.

“Kenapa kamu nggak sopan sama Om Doni?” sambung Mama.

“Kenapa aku harus sopan sama dia, Ma. Orang yang udah buat hubungan Mama dan Papa jadi kacau. Udah, Ma. Aku nggak mau perpanjang urusan ini lagi. Aku berangkat dulu.”

“Tapi nggak boleh gitu.” Mama terus berbicara tetapi aku terus berjalan.

Maaf Ma, hari ini aku nggak sopan sama Mama. Aku nggak akan bersikap sopan di depan pria itu.

Mobil Thomas sudah terparkir di depan rumah. Asli, mood-ku hancur berantakan. Sekalipun kehadiran Thomas nggak bisa membuat keadaan hatiku membaik.

“Kok mukanya muram gitu?” tanya Thomas saat aku sudah selesai memasang sabuk pengaman.

“Adik Mama yang kita temui semalam, tinggal di rumahku selama sebulan. Rasanya aku pengen bunuh dia aja. Tampangnya ngeselin banget, kepo luar biasa,” kataku berapi-api.

“Marahi dia, jangan biarkan dia bertindak semena-mena sama kamu,” respon Thomas setelah membunyikan klakson mobil, ternyata Mama yang lagi di teras rumah.

“Udah, tadi aku ancam dia jangan pernah ngobrol sama aku kalau nggak, akan aku laporin ke Papa.”

“Bagus. Gitu dong, harus berani. Udah kita ngobrolin hal lain aja, nggak usah mikirin dia.” Thomas mengalihkan pembicaraan dengan bercerita rencana-rencana dia untuk mengembangkan bisnisnya, banyak ide-ide bagus yang  akan dia buat, aku yakin suatu saat brand-nya akan semakin besar dan dikenal banyak orang. Aku bangga banget menjadi salah satu yang menemaninya dari bawah.

Notifikasi dari aplikasi chat muncul di ponselku, aku tertawa pelan saat membaca pesan masuk.

“Nggak lagi gila ‘kan?” tanya Thomas nggak ada sopannya sama cewek sendiri.

“Gila kayak kamu,” sindirku nggak mau kalah.

“Aku lagi chatting-an sama temanku, udah jadi dosen di Malang, anaknya curhat lagi patah hati sama cewek. Baru kali ini dia bisa galau---”

“Dia cowok?” potong Thomas.

“Iya, dia sahabatku dari SMP. Ke mana-mana selalu berdua eh bertiga sama Becka. Kita mulai berpisah waktu dia lanjut S1, sekarang dia jadi dosen di kampusnya sendiri.”

“Kamu nggak pernah bilang kalau punya sahabat cowok.” Thomas mulai mengomeliku.

“Aku belum pernah cerita? Maaf, kayaknya aku lupa cerita.” Aku menepuk ringan bahunya.

“Kamu nggak usah punya teman cowok, nggak baik kalau cowok dan cewek berteman. Biasanya ada yang naksir.”

“Pengalaman ya,” godaku lalu sadar kalau mobil Thomas sudah berhenti tepat di depan kantorku.

Thomas membuka sabuk pengaman dan memutar tubuhnya menghadap ke arahku.

“Pengalaman teman-temanku juga gitu, lagian kamu udah punya cowok, nggak baik masih berkomunikasi dengan lawan jenis. Cukup sama aku aja ya,” pinta Thomas.

“Tapi dia sahabat aku, Thom. Aku nggak bisa.”

“Fine! Sekarang kamu pilih dia atau aku?” serunya penuh penekanan di tiap kata dia ucapkan.

Aku memijat pelipis seraya mendesis pelan karena mendadak sakit kepala. Thomas mulai kumat ngeselinnya. Gimana bisa dia buat pilihan yang nggak bisa aku pilih?
***

Follow sosmedku ya:
IG dan Tiktok: penulisintrovert

Buat yang mau baca cerita ini sampai tamat, udah ada di Karyakarsa. Bisa lihat catatan di bab 1 untuk cara aksesnya.

Terima kasih❤

Terjebak Pacar PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang