Menikah dengan Lelaki Pemalu
1
“Cie yang mau nikah sama anak uztaz. Wkwkwk. Jangan sampe dia kabur entar kalo tau lo yang sebenarnya!” ledek teman-temanku di WAG, saat aku mengundang mereka ke acara pernikahanku besok.
“Asem lo! Makanya jangan cerita-cerita. Udah, pokoknya jangan lupa besok dateng pake baju muslimah. Jangan pake seragam kita yang kayak biasa. Bisa copot entar mata camer gue ngeliat lo semua.”
“Emang lo pake jilbab juga, Ra?” tanya Ica.
“Ya, iyalah. Gila aja lo kalo ampe enggak.”
“Kok bisa? Kapan tobatnya, lo?”
“Seminggu kemaren mulainya. Kepaksa gue. Semua akun medsos gue udah dihapus. Baju-baju di lemari udah diganti gamis semua sama mama.”
“Segitunya obsesi mama lo punya besan uztaz?”
“Hooh, bingung gue. Gara-gara mama papa ikut pengajian ‘Kiamat Sudah Dekat’ jadi mendadak hijrah katanya, sih.”
“Wkwkwkwk.”
“Dih, malah ketawa.”
*
Bagi wanita lain barangkali kriteria calon suamiku ini sangat ideal, ganteng dan saleh. Namun bagiku ini sungguh menyiksa. Aku yang biasa bebas bergaul dengan siapa saja, pergi ke mana saja, dengan pakaian modis ala Korea, kini harus terkungkung dalam sangkar.
Semua ini gara-gara obsesi mama dan papa yang ingin sekali punya besan ustaz. Maka saat ada ustaz melamar untuk anaknya, aku mereka paksa untuk menjadi salihah dadakan.
Seharusnya yang dinikahkan itu adikku, karena kriteria ‘muslimah’ sudah melekat pada dirinya. Sayangnya adikku belum mau menikah karena masih kuliah. Sementara diriku? Umurku sudah mendekati 30 tahun, hidup tidak terarah, pekerjaan nggak ada, pacar nggak punya. Mama papa khawatir anaknya ini nggak normal. Maka ... bagi mama dan papa, kedatangan keluarga ustaz Dedi untuk melamar tuh seperti durian runtuh yang diantar oleh dewi fortuna. Hoki ... se ... hoki-hokinya.
Dengan segala cara kedua orang tuaku membuat agar calon besan terkesima padaku.
“Anak kami walaupun bandel, tapi masih disegel, nggak ada lecet, apa lagi retak. Garansi satu tahun, boleh dikembalikan,” kata mama mempromosikanku seminggu yang lalu. Apa-apan sih, Mama? Dikira aku kulkas dua pintu, apa?
“Low watt juga, nggak?” kata uztaz Dedi, ternyata beliau juga pandai bercanda.
Keadaan yang semula kaku, seketika mencair. Seperti itulah, akhirnya laki-laki yang baru kukenal itu akan segera menjadi suamiku. He’s name is ... Baihaqi. Hmm kira-kira nanti panggilan sayangku apa ya? Bay? Atau Kiki? Atau bay bay kiki ... dadah! Selamat tinggal?! Agh! Au ah, pusing!
*
Hari yang dinanti pun tiba. Dengan hati berdebar, aku mengintip dari balik tirai tipis, lelaki yang sedang mengucapkan ijab qobul itu. Kini, saatnya aku keluar dari pertapaanku, diikuti oleh dayang-dayang yang solehah dadakan ini. Ada empat orang. Semua cantik-cantik. Ami, Mili, Ica, dan Ara. Dari keempatnya, Ami yang paling dekat denganku, juga yang punya latar belakang keluarga hampir sama denganku.
Suasana hening seketika. Ruangan yang sudah dihias dengan dekorasi khas pengantin dominasi warna putih ini sangat serasi dengan gaunku. Meski tak sempat toleh kanan kiri dan pecicilan seperti biasa, aku bisa merasakan kini diriku jadi pusat perhatian semua mata, kecuali satu orang. Baihaqi. Kenapa lelaki yang baru saja menghalalkanku ini tak mau menatapku? Apa aku begitu mengerikan? Jangan-jangan dia nyesel baru aja nikahin aku? Apa di sini ada yang membocorkan rahasiaku? Menceritakan bagaimana diriku yang dulu? Atau sebenarnya dia juga sama terpaksanya seperti aku? Ah ... mengerikan jika sampai itu terjadi. Pernikahan apa ini namanya?
“Silakan kedua mempelai berhadap-hadapan untuk bersalaman,” kata pembawa acara.
Aku menghadap lelaki itu, dirinya pun demikian. Aku menatapnya, dia menunduk. Aku mengulurkan tangan, ia pun sama. Aku penasaran apa yang salah denganku hingga ia belum kunjung menatap diriku yang cantik ini. Maka ... saat ia mengulurkan tangan, aku buru-buru menangkapnya!
Tangannya gemetar, apa dia kurang minum? Apa AC di sini terlalu dingin? Terus kenapa aku kepanasan?
Cepat-cepat kugenggam tangannya. Dingin! Kayak abis direndem es serut sebaskom. Aku menatapnya, saat itu mata kami bertemu, namun dalam hitungan detik ia menunduk lagi. Why?
Sambil menahan banyak pertanyaan di dada, kucium tangan pucat dan dingin itu. Selain bentuk bakti karena sudah menjadi istri, ini juga untuk memastikan bahwa lelaki ini bukan vampir.
Aku spontan menjauhkan pandangan dari tangan Baihaqi saat kurasakan tepukan di pundak. Itu tangan Ami saat kulirik.
“Pengantin pria boleh mencium pengantin wanita,” kata pembawa acara selanjutnya.
Waduh, jantungku seperti sedang zumba di dalam dada. Apa lagi saat ... lagi-lagi mataku dan mata elang milik Baihaqi bertemu. Karena akan dicium, aku memejamkan mata, dan sedikit memajukan bibirku.
Lama menanti, tak juga kudapati sesuatu menyapu bibirku. Saat itu hanya ada sentuhan sekilas di keningku yang tertutup hijab. Saat kubuka mata, Baihaqi telah duduk seperti semula. Aku celingak-celinguk, sampai Ami memberi aba-aba duduk rapi, sambil membisikkan sesuatu di telingaku.
“Jangan malu-maluin, Cin. Keliatan bener kalo lo napsu!”
Aku melirik Ami sekilas, yang dilirik melotot dan memberi peringatan bahwa aku harus menjaga perilaku. Aku hanya memutar bola mata. Salahku di mana, coba?
*
Kebekuan masih berlanjut saat sesi foto pengantin. Berkali-kali pengarah gaya bahkan beberapa tamu yang kebetulan melihat kami ikut gemas karena kami—bukan kami, tapi dia—terlihat malu-malu di dekatku.
“Ayo pegang tangannya!” kata pengarah gaya.
“Berpandangan, Mas,” kata kameramennya.
Tapi Baihaqi kaku sekali, bahkan beberapa tamu dibuat tertawa melihat Baihaqi yang berdiri mematung tanpa ekspresi. Dia sama sekali tidak bicara padaku. Ah, aku hampir mati penasaran menunggunya menyebut namaku.
*
Hingga tibalah saat malam pertama kami. Tadi, saat aku bersama teman-temanku di kamar, aku sudah di breefing sama mereka, meskipun mereka masih gadis semua.
Mili, Ica, dan Ara sedang sibuk berfoto di berbagai sudut kamar pengantinku, sementara Ami sedang memberi arahan padaku. Kenapa, dia? Sebab di antara kami, Ami-lah yang paling alim.
“Lo udah baca semua buku yang gue kasih?”
Aku menggeleng.
Ami menepuk jidatnya sendiri. “Itu buku penting banget buat panduan pengantin baru! Lo ngapain aja, sih, sampe nggak sempet baca?”
“Males, Mi, kenapa nggak ngasih buku yang pake gambar aja, sih? Biar cepet paham!”
“Ih setres ni anak! Yang perlu lo pahami bukan gambarnya doang, Dodol! Tapi doa, doanya kudu dihafal!” cecar Ami dengan penuh penekanan. Gue yang nikah, dia yang sibuk.
“Katanya lo mau menjaga nama baik mama papa, lo? Apa kata suami elo entar kalo ilmu-ilmu dasar aja nggak bisa?”
“Bodo amat, Mi. Dia juga kayaknya nggak berselera sama gue?!” keluhku.
“Ih ... jangan buru-buru menyimpulkan. Lo belum tau dia, kan? Dan yang paling penting, lo jangan sampai ngecewain mama papa lo. Lagian nih, ya, elo tuh udah bagus ada yang mau nikahin, anak ustaz pula. Kalo nyari sendiri belum tentu dapet yang bagus kayak dia?”
“Kita kan Cuma belum tau aja, siapa tau ayahnya aja yang ustaz, anaknya preman, bisa jadi, kan? Siapa tau aja, dia sama kayak gue?”
“Iiih mana ada preman gemeteran salaman ama cewek?”
Bener juga, sih?
“Ya udah, untuk tahap awal, lo biasain dulu berkata-kata lemah lembut, jangan bilang ‘wow, gila! Keren banget’ coba ganti MasyaAllah. Kalau keceplosan atau ngerasa abis berbuat buruk, bilang Astagfirullah. Kalau bahagia, bilang Alhamdulilah, kalau ....”
“Kalau mau makan bismillah, gue juga tau!” selaku.
“Iya, jangan sampai kebalik-balik, ya!” Ami mendengkus. “Gue khawatir sama lo, Cinta ... gue pengen ngeliat lo bahagia ....” Mata Ami berkaca-kaca, kedua tangannya menggenggam jemariku erat.
Aku membalas dengan memeluknya erat.
*
Tamu-tamu undangan sudah meninggalkan kediaman rumah mertuaku ini. Ya, atas permintaan keluarga Ustaz Dedi, acara diadakan di rumahnya. Dan kamar ini adalah kamar putranya.
Lama aku menanti suamiku masuk, akhirnya aku melepas semua atribut pengantin ini dan mandi, kemudian mengenakan pakaian tidur satin berenda-renda yang disiapkan Ami. Meskipun tipis, pakaian ini panjang menutup lengan dan kaki, jadi terkesan sopan.
Aku mengenakan riasan tipis, lalu menyisir rambutku yang basah di depan cermin. Saat itulah kudengar pintu dibuka, dilanjutkan dengan suara benturan.
Aku terkesiap, mendapati suamiku sedang meraba keningnya dengan kedua tangan. Lantas terdengar lirih dari bibirnya, “Astagfirullahaladzim ....”
Apa? Bukankah kata Ami kalimat itu artinya ...? Seketika kupandangi diriku dari ujung rambut sampai ujung jempol kaki yang cantengan karena lama berdiri bersalaman dengan tamu. Ada yang anehkah sampai dia bergumam seperti itu?
Aku berdiri dan memberanikan diri bertanya padanya. “Ke ... kenapa astagfirullah?”
“Maaf?” jawabnya.
“Seenggaknya bisa ucapkan kalimat lain ‘kan?”
“Aku ... saya, ehm ...,” katanya bingung.
“Atau doa misalnya?”
“Ma ... ma ....”
“Iya, doa makan kek, doa sebelum tidur kek, doa masuk kamar mandi kek. Kenapa harus kalimat itu yang kamu bilang?!” Huh, kecewa, deh!
Bersambung