Menikah dengan Lelaki Pemalu
2
“Astagfirullahaladzim ....”
Aku berdiri dan memberanikan diri bertanya padanya. “Ke ... kenapa astagfirullah?”
“Maaf?” jawabnya.
“Seenggaknya bisa ucapkan kalimat lain ‘kan?”
“Aku ... saya, ehm ...,” katanya bingung.
“Atau doa misalnya?”
“Ma ... ma ....”
“Iya, doa makan kek, doa sebelum tidur kek, doa masuk kamar mandi kek. Kenapa harus kalimat itu yang kamu bilang?!” Huh, kecewa, deh!
Aku membuang muka, melipat kedua tangan di depan dada. Maksudnya pura-pura ngambek biar diperhatiin. Jadi jangan sampai itu cowok kabur ke kamar lain. Bisa jatuh harga diriku. Sungguh sikapku ini sangat berani mengambil risiko, pantang menyerah, dan berjiwa patriotisme. Aku mengangguk-anggukkan kepala.
Kulirik si dia dengan ekor mata. Eh, dia mendekat! Tiba-tiba aku deg-degan, seperti ada yang berloncatan dalam dada. Mungkinkah ini saatnya? Oh my God! Eh! MasyaAllah!
Pasti dia mau meluk dari belakang terus minta maaf! Biasanya laki-laki dingin kan kayak gitu ya? Kayak cerbung mbak author yang judulnya lelaki es itu? Aih! Aku menggigit bibir menahan gugup.
Kriet. Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka. Hah? Nggak kedenger suara langkah kaki, kenapa tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka? Apa Baihaqi tadi mengendap-endap? Astaga! Eh, Astagfirullah!
Nyebelin! Gue nggak dianggap! Padahal dari tadi nungguin dengan perut lapar. Sungguh tidak berperi-kepengantin-baruan!
Ugh, kuhempaskan tubuh di kasur empuk yang ditaburi kelopak mawar. Apa aku kurang menggoda? Apa kerah baju ini kumelorotkan saja sedikit ke samping kiri dan kanan pundakku? Atau ke depan? Oh no no no, kamu mau jualan tapi enggak diobral juga kali, Cinta! Ini malam pertama, loh, jaim dikit napa?
Tapi dipelorotin dikit kan nggak apa-apa? Agak lama aku memandangi pantulan diri di cermin, mencari apa yang kurang pada penampilanku. Sepertinya kalau kuikat rambut ke atas bisa kelihatan lebih ‘memanggil’ ... ya nggak, sih?
Baiklah, kuikat rambutku tinggi-tinggi kayak pendekar cewek di film-film kolosal mandarin.
Kriet. Suara pintu kamar mandi dibuka, spontan aku menoleh. Lelaki tinggi itu keluar dengan kaos putih dan celana panjang masih yang tadi. Wajahnya masih belum benar-benar kering dari guyuran air. Kulitnya cerah. Ujung rambut, yang sebagian menutupi dahi itu basah dan sedikit menyisakan tetesan air. Wih gila, ganteng banget, anjir! Eh, MasyaAllah maksudnya. Aku menepuk bibir sendiri.