Menikah dengan Lelaki Pemalu
3
Aku tak berani mengangkat wajah, karena sadar sedang jadi pusat perhatian. Aku hanya berani menoleh pada Baihaqi yang ternyata sedang terpana menatapku.
Mama ... apakah palang pintu ini akan diganti, Ma ...? Huhuhu ... padahal aku udah jatuh cinta pada pandangan pertama sama suamiku, nih.
Bay, tolong ....
“Cinta, kamu belum bisa baca Alquran, Nak? Atau hanya buku iqra itu yang kamu bawa?” tanya uminya Baihaqi, ibu mertuaku.
Aku mengangkat wajah pelan, “Dua-duanya, Um ....”
“Ya Allah ....” Terdengar lirih suara semua orang dalam ruangan itu. Mereka sejenak saling berpandangan.
“Tapi mama kamu bilang kamu bisa, Cinta. Mama kamu bilang ....” Suara Umi terhenti, ia tampak menghela napas dalam. “Umi baru sadar ... ternyata semua mama kamu yang bilang, ya, yang bilang bisa itu ternyata mama kamu ....” Umi menekankan pada kata ‘bisa.’
“Bagaimana bisa ama Tuti nggak mendidik anaknya, padahal ia dan suami terlihat paham agama?” Kini terdengar suara kakak iparku yang perempuan, menyebut nama mamaku.
Bagaimana aku harus menjawabnya? Mama juga baru beberapa bulan ini ikut pengajian. Dan aku tahu kenapa perubahannya cepat, itu karena beliau serius. Sementara diriku ...?
“Dari kecil sampai sekarang, kamu ngapain aja, Dek? Kemampuan membacamu kalah sama anak kakak yang kelas satu SD!” cecar kakak iparku. Nyelekit, tapi apa yang dikatakannya benar.
Kata-kata itu tepat menancap di relung hatiku yang terdalam.
“Kamu tahu? Banyak sekali wanita di luar sana yang menanti-nantikan dikhitbah oleh Bay? Namun pada akhirnya memilih kamu? Itu artinya harapan keluarga ini sangat tinggi padamu, Dek,” lanjut kakak ipar. Ya ampun, sampai di sini, aku udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi.
Aku sempat mendengar memang Baihaqi saat itu sedang didekati anak pemilik sebuah sekolah IT, ada pula gadis lain yang baru pulang dari menuntut ilmu di Turki. Terakhir kudengar ia didekati keluarga gadis yang bekerja sebagai guru ngaji. Sungguh aku tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Tiba-tiba kedua mataku menghangat. Ah ....
Umi ikut angkat bicara. “Cinta ... seorang wanita akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Kamu akan menjadi orang pertama yang akan ditanyai ini dan itu oleh anak-anakmu. Karena itu wanita harus pandai. Jalan menjadi pandai itu adalah dengan membaca, Sayang. Tidak hanya setelah anak itu ada, bahkan sejak di dalam kandungan, ayat-ayat suci bahkan sudah diperkenalkan dengan sering-sering membacanya saat kita mengandung ...,” nasihat Umi.
“Apa Cinta tidak pernah belajar mengaji, Nak? Apa mama papamu tidak mengajarkan?”
Aku menegakkan kepala, rasa panas yang menjalari tubuh kian menjadi, perasaan bersalah saat nama mama dan papa disebut kian menghantui. Betapa memalukannya diriku?
“Cinta mengaji, Umi,” jawabku.
“Kapan?”
Aku menggigit bibir. “Sekitar ....”
“Sekitar?”
“Sekitar 20an tahun yang lalu.”
“Allah ....” Dengungan itu kembali terdengar memenuhi ruangan. Wajah-wajah itu terlihat kecewa padaku.
Tak urung air mataku jatuh satu-satu. “Maafkan Cinta, Umi, Abi, kakak kakak dan suami Cinta, Bayhaqi. Bukan maksud Cinta menipu keluarga ini.” Suaraku mulai terdengar bergetar. “Dan ... dan tolong jangan salahkan mama papa Cinta, Um. Ini murni kesalahan Cinta sendiri .... Cinta yang nggak belajar dengan benar, Um. Sering kabur-kaburan dan main sama temen. Terus setelah menemukan dunia yang menurut Cinta menarik, Cinta udah nggak mau balik lagi melakukan sesuatu yang menurut Cinta waktu itu sangat membebani.”