Menikah dengan Lelaki Pemalu
5
“Oooh ... pilih aja, Kak ... siapa A’ nama istri Aa?”
“Cinta,” jawab suamiku.
“Cie ... cie ... sweet banget MasyaAllah,” kata mereka.
Mereka tidak tahu itu nama asliku, dikira panggilan sayang.
“Nama panjangnya siapa?” tanya anak-anak itu lagi.
Bay menoleh padaku. “Ehm ... Cinta Banget,” katanya.
Anak-anak yang baru beranjak ABG itu cekikikan lagi. “Lebih panjang?”
Baihaqi menatapku lekat. “Cinta banget sama kamu.”
“Lebih panjang!” goda anak-anak itu.
“Aku cinta banget sama kamu, Cinta ....” Kedua matanya menatapku sangat dalam. Sementara aku sibuk meredakan debar di dada yang semakin menggila.
“Cie ....” goda anak-anak itu.
Baihaqi menarik tanganku meninggalkan stan, diiringi tepuk tangan dari para gadis ABG. Aku jadi merasa seperti sedang menang award, penghargaan untuk istri paling beruntung sedunia. Bagaimana nggak beruntung, suami pemalu seperti Baihaqi baru saja menyatakan cinta padaku.
“Kamu bilang mau beliin sesuatu buat aku, kok nggak jadi?” tanyaku.
“Udah kadung (terlanjur) malu,” katanya menunduk, menghindari tatapanku.
“Malu ke siapa? Ke anak-anak tadi?” Aku semakin mendekat untuk menemukan sepasang matanya.
Bay menggeleng, menutup sebagian wajahnya dengan tangan.
“Terus? Ke aku maksudnya?”
Ia mengangguk, lantas menghindari tatapanku. Aku menghalangi langkahnya, ia balik badan. Aku memutar langkah agar bisa berhadapan dengannya, ia menghindariku lagi dan cepat-cepat berjalan meninggalkan lapangan. “Tadi itu ‘khilaf’!” ucapnya berjalan terburu-buru.
Aku menyusul, meraih tangannya dan bergelantungan manja (bergelantungan? Itu bahasa apa, sih?)
“Ayo, dong, Bay, ‘khilaf’ lagi!”
Ia menggeleng ....
“Ayolaaah ....” Aku memaksa. Puas sekali rasanya bisa menggodanya.
*
Pagi-pagi sekali aku terbangun. Seperti biasa suara deretan pesan dari WAG keluarga memenuhi ruang chat. Kali ini bukan siapa yang tausiyah atau apa, karena abi mengisi kuliah subuh di masjid, melainkan masak apa. Masak? Ah aku jadi semangat, semangat mengupas bawang!
Kurasakan ada yang begerak-gerak di sebelahku. Aku menoleh, Bay tampaknya baru saja bangun, matanya mengerjap-ngerjap, kemudian ia usap dengan tangan. Jemarinya yang lentik dan kulit cerah seakan mengunci mataku. Ia mengenakan kaos putih agak tipis berlengan pendek. Sesuatu yang jarang ia pakai. Beruntungnya aku bisa menikmati pemandangan ini. Sungguh ciptaan Allah yang Maha Sempurna.
“Pagi ... Cinta,” sapaku.
Bay mengernyit dan menatap wajahku.
“Pagi ... suamiku yang cinta banget sama aku ...,” godaku.
Bay mengulum senyum, sedikit tertawa dan menarik selimut menutupi wajahnya.
“Suamiku ....”