≪•◦ ❈ ◦•≫
Langit tampak begitu kelam. Bintang tidak hadir malam ini, bulan pun sama. Air hujan mengetuk-ngetuk kaca. Suara-suara dari langit pun ikut serta membuat malam itu tampak murung. Bahkan suara petir yang begitu nyaring itu berhasil membuat Florence terlempar keluar dari alam mimpinya. Entah ia harus bersyukur atau tidak. Sebab, tadi ia terjebak lagi dalam mimpi buruk yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Mimpi itu terus mendatanginya. Bahkan saat ia sudah sebesar ini. Memang benar, kenangan yang menyakitkan tak akan pernah bisa kita lupakan. Yang harus dilakukan adalah berusaha ikhlas. Sayangnya, hingga detik ini Florence masih belum bisa ikhlas sedikit pun.
Florence menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Tidak berniat melanjutkan tidurnya. Napasnya yang semula memburu pun berangsur-angsur normal. Kemudian, Florence mengambil sapu tangan di atas meja yang berada di sisi ranjangnya. Lalu, mengelap peluh yang membasahi wajah putihnya. Harusnya ia kedinginan karena hujan turun dengan sangat deras di luar sana. Akan tetapi, mimpi sialan itu malah membuatnya berkeringat.
Hari ini, adalah peringatan tujuh tahun kematian ibunya. Sudah selama itu rupanya mimpi buruk itu terus mendatanginya minimal tiga atau dua kali seminggu dan membuatnya cukup tersiksa. Mungkin, ia bisa sedikit membaik jika ayahnya masih peduli. Sayangnya, ayahnya itu tampak seperti bukan miliknya lagi. Dan, Florence benci itu.
Semuanya berubah dalam sekejap semenjak kejadian buruk itu. Florence bukan lagi seorang gadis ceria yang ramah kepada semua orang. Ia telah berubah menjadi Florence yang pemurung dan tidak suka bergaul. Kesendirian adalah dirinya yang baru. Bahkan, di tempatnya sekarang ia menjadi satu-satunya orang yang tidur sendirian. Hanya dirinya yang tidak memiliki teman satu kamar.
Malam ini adalah malam ketiga Florence tidur di kamar ini. Saat ia datang ke Asrama Tyrell, tidak satu pun kamar yang kekurangan orang. Jadi, Florence harus menempati sebuah kamar besar seorang diri. Tidak masalah baginya. Justru bagus. Berada dalam satu kamar dengan orang asing rasanya sangat tidak nyaman.
Ayahnya masih belum menghubunginya hingga saat ini. Florence pun tidak berani menghubungi terlebih dahulu. Ia takut ayahnya masih marah kepadanya. Bahkan saat mengantarnya beberapa hari lalu, pria itu masih tampak dingin. Ah, Florence lupa. Clara 'kan anak kesayangannya. Tentu ayahnya akan marah besar jika anak kesayangannya itu Florence sentuh sedikit saja.
Sebenarnya, Florence cukup puas karena berhasil membuat adik tirinya jatuh dari tangga dan mengalami patah kaki dengan menumpahkan minyak saat adiknya akan menuruni tangga. Namun, kemarahan ayahnya membuatnya cukup kesal juga. Clara dan ibunya telah merebut miliknya yang masih tersisa. Kehadiran ibu tiri beserta adik tirinya itu membuatnya seperti bayangan yang selalu diabaikan oleh ayahnya. Florence hanya berusaha menyampaikan kekesalannya saja. Sebab, Florence sudah muak dengan segalanya.
Sudah lama Florence tidak menangis. Bukan karena ia kuat. Namun, ia memang tidak bisa menangis lagi. Hingga, malam ini tiba. Mengingat semua yang telah terjadi membuat tumpah air mata yang ia kira sudah mengering.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Castle [END]
FantasyBlurb: Florence dan Axel terpaksa masuk ke sekolah asrama karena kesalahan yang mereka lakukan, sehingga membuat orang tua mereka marah besar. Saat pertama kali melihat Florence, Axel yang jahil langsung bertekad untuk menjahili gadis penyendiri itu...