04

545 84 9
                                    

Pembawaan tampang kesal yang kental, Jessy kembali ke rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Ia berdebat cukup panjang dengan pria keterlaluan yang sudah merenggut mahkotanya. Pria itu terus mengatakan omong kosong jika yang terjadi malam itu adalah hubungan secara suka-rela, padahal setengah mati Jessy menolak jika itu terjadi benar-benar di luar kesadarannya.

Perasaan miris dan sedih yang tersimpan tadi telah berubah menjadi perasaan dongkol dan tidak terima. Niat Jessy untuk bunuh diri juga telah lenyap karena komat-kamit kekesalan nan dituturkan bibirnya. Bibir Jessy bergetar, ia baru menyadari hawa dingin yang terjadi akibat pakaiannya yang basah sekarang. Keadaannya sungguh menyedihkan, seperti sebuah roh yang keluar dari sungai dengan tubuh yang basah kuyup.

Tangannya mendorong pintu agar terbuka. Jessy ingin cepat-cepat masuk ke kamar mengganti seluruh pakaiannya, dan bersembunyi di sebalik selimut. Jessy tebak, ia akan mendapatkan flu besok pagi.

"Loh, Kakak? Apa yang terjadi? Mengapa tubuhmu basah kuyup begini?"

Jessy dapat mendengar seruan Jeane yang datang untuknya, kemudian disusul oleh kehadiran gadis itu. Setiap kali melihat wajah peduli Jeane yang nyatanya hanya kepalsuan, benar-benar membuat Jessy muak. Jeane dan Ibunya telah berhasil membuat Jessy menghilangkan rasa sayang nan ia miliki kepada keduanya. Sehingga, seolah enggan mempedulikan Jeane, Jessy hanya melongos untuk segera masuk ke kamar.

Merasa tak dihiraukan, Jeane berdecak. Sudah lama ia menahan kepura-puraan ini, tapi sekarang Jessy malah menunjukkan sikap tak bersahabat secara terang-terangan. Heh, lagian siapa pula yang menaruh perhatian yang tulus? Jeane hanya ingin mengikuti rencananya dan sang ibu, dengan mengukir kesabaran sedikit lagi. Tapi sepertinya dengan hanya menunggu, itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Jeane sudah menanam kebencian kepada Jessy sampai ke ubun-ubun, apalagi sekarang kakaknya itu terlihat begitu sombong dan angkuh.

Jika Jessy ingin ujaran kebencian secara transparan, maka ayo kita lakukan. "Padahal aku sudah merasa senang ketika kakak tak pulang hingga larut malam. Aku pikir kau sudah mengubur diri demi menebus kesalahan besar yang kau lakukan. Percayalah, Kakak. Ketika kakak mati, tak akan ada seorangpun yang merasa kehilangan. Itu adalah keberkahan."

Kalimat Jeane ampuh menahan langkah Jessy yang hendak pergi. Padahal ini sudah terlalu larut untuk berdebat, namun apa yang sudah keluar dari bibir Jeane terasa tak bisa diterima begitu saja. Jessy berbalik, dan berjalan mendekat ke arah Jeane. "Jadi kau sudah memutuskan untuk menunjukkan sikap aslimu sekarang?"

Jeane bersedekap, dan tersenyum tipis. "Memangnya itu akan jadi masalah? Aku tak akan kehilangan apapun, bagaimanapun juga aku bersikap. Semua orang sudah kehilangan kepercayaan terhadapmu, mereka tak mempedulikanmu lagi. Lihat saja, ketika kau pulang larut, bahkan tak ada yang mencari dan menunggumu di sini. My sister, this paint more than death."

"Sebegitu besarnya ambisimu untuk membuatku mati? Ayah, Arsen, Cassandra. Apa mereka belum cukup, sehingga kau inginkan nyawaku juga? Kenapa, Jeane? Kau takut kalah lagi dariku? Kau tak percaya pada kemampuanmu sendiri? That's a pitty, tapi aku tak akan menyerah dan memberikan posisiku begitu saja kepadamu. Jauh dari sisi manapun, aku selalu unggul, dan kau bahkan tak bisa menggapai bayanganku."

Amarah Jeane mencurat dengan begitu mudah. Nafasnya langsung memburu setelah kalimat Jessy selesai. Sehingga tak ingin menahan, tangannya sudah terangkat dan siap melayang. Namun seakan tak membiarkan Jeane bertindak semena-mena lagi kepadanya, Jessy menangkis tamparan tersebut. Bibirnya tersenyum miring.

"Aku tak akan menyerah dengan hidupku sebelum aku mendapat keadilan. Simpan angan burukmu itu, karena sebentar lagi aku akan membuka mata semua orang, tentang jati dirimu dan ibumu. Ular bertanduk!" Jessy mendorong tangan Jeane dengan kuat, sebelum melangkah meninggalkan gadis tersebut.

Selepas kepergian Jessy, masih dengan amarah yang menggebu, Jeane menghirup banyak udara dan siap berteriak. Namun ia berusaha menekan niatnya agar tak menimbulkan kegaduhan. Hanya dalam beberapa jam, Jessy berubah menjadi wanita yang tegar? Heh, bahkan Jeane masih ingat dengan wajah menyedihkannya tadi siang ketika dibentak oleh Arsen dan Cassandra. Tidak mungkin Jessy menjadi kuat dengan begitu cepat. Jeane yakin jika gadis itu hanya berpura-pura.

"Kau begitu sombong, Kakak. Kita lihat saja sampai kapan kau bisa berusaha kuat ketika semua orang semakin membencimu."

❦❦❦

Jessy harus menata hidupnya lagi, demi keadilan yang harus ia dapat. Ia tak boleh menyerah sebelum berhasil membuka pandangan semua orang kepadanya. Ia tak akan mati dengan status pecundang. Setidaknya Jessy harus berusaha mematahkan anggapan orang-orang kepadanya. Masalah bisa mendapatkan haknya yang dulu lagi atau tidak, Jessy tak memiliki angan lagi. Ia hanya ingin membuktikan jika ia tak bersalah.

Pagi ini ia turun dari kamarnya, setelah sebelumnya hanya mengurung diri dan meluapkan kesedihan seorang diri. Jessy ingin mengunjungi taman belakang, setidaknya ia akan memiliki aktivitas sehingga pikirannya tidak terus-terusan terbebani akibat masalah yang sedang terjadi. Semasa hidup, Ibunya sering mengajak Jessy mengurus bunga-bunga di sana.

Langkahnya yang sudah terasa ringan ketimbang biasanya, nan diajak berayun, tiba-tiba berhenti ketika pendengaran Jessy mendengarkan sesuatu.

"Sudah Ibu bilang jangan bertindak bodoh dan gegabah, Jeane!"

Samar-samar, Jessy bisa mendengarkan percakapan Diana dan Jeane. Ia memundurkan langkahnya, kemudian berusaha membuat fungsi telinganya makin tajam.

"Dia sudah berlagak sombong padaku,Ibu! Mau tak mau, aku tersulut.."

"Kau tahu, akibat kebodohanmu ini, semua rencana yang sudah kita susun sejak awal bisa berantakan! Jeane, tahan sedikit egomu untuk sekarang. Kau tak akan kehilangan harga diri jika kau diam."

"Tapi bagaimana aku bisa diam saat dia menghinaku, Ibu?! Dia sangat sombong ketika mengatakan aku bahkan tak sebanding dengan bayangannya!"

"Jeane, ibu ingin ini menjadi yang terakhir. Jika ibu mendengarmu bersikap atau berkata buruk lagi kepada Jessy, maka ibu tak akan mengampunimu. Ingatlah semua hal yang sudah kita lakukan demi posisi ini. Dan ini sudah hampir selesai, jadi kau tak boleh menggagalkannya."

Jessy benar-benar tak mengerti dengan isi kepala ibu dan anak tersebut. Mengapa mereka begitu jahat?

"Dengar, Sayangku. Ibu bukannya tak mempedulikan perasaanmu. Tapi jika kau gegabah, apalagi jika ayah melihatmu bersikap buruk kepada Jessy, maka semuanya akan selesai. Sayang, Ibu sudah mengambil keberanian besar untuk menjalankan ini. Bahkan Ibu berani melenyapkan Bibi Tiffany, demi masuk ke kehidupan Jessy dan ayahnya."

Seakan mendapat peringatan yang begitu besar, Jessy ampuh dibuatnya membeku. Ia tak salah dengar? Jadi, ibunya meninggal karena direncanakan, bukan karena penyakit? Tangan Jessy terkepal amat kuat. Napasnya terasa sesak akibat pengakuan yang tak langsung nan keluar dari bibir Diana. Jessy harus membayar kematian ibunya dengan nyawa juga! Ia sudah melirik ke arah vas kaca yang terpajang, sepertinya jika Jessy melempar itu ke wajah Diana, akan ampuh merenggut nyawanya juga.

Tapi tidak, jika Jessy melakukan itu, maka kematian Diana akan terasa sangat indah. Jessy juga tak bisa mempertaruhkan dirinya. Bagaimana jika Diana masih bisa diselematkan, dan ia yang mendekam di penjara? Tidak, Jessy masih harus berpikir lagi.

Tanpa dicegah, omongan laki-laki yang semalam menolongnya menggema di pikiran Jessy.

"Hubungi aku jika kau membutuhkan bantuan."

TBC
***

SUPERMAN (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang