Zaki menyibakkan buku paket matematika. Meski di membaca ini berkali-kali, tetap saja dia tak paham. Bagaimana jawabannya dan rumusnya, dia tak mengerti. Dia sudah mencobanya, tetapi tidak berhasil.
Zaki berdecak. "Kok jawabannya nggak ada, ya. Dari a sampai ke d, tetap nggak ada kayak jawaban gue. Ah, nggak jelas ni buku. Entah, gue yang salah jawaban, apa ni buku yang nggak tahu jawabannya." Zaki memegang kepalanya. Bagaimana ini? Dia bingung, sedangkan besok dia harus mengajari Lian tentang pelajaran ini. Tetapi jangankan ini, dasarnya saja dia tak tahu.
Apalagi Lian adalah gadis tipe gadis yang cepat paham. Tentunya ini tidak akan menyulitkan dirinya. Jangan sampai dia dibuat mati kutu oleh gadis itu.
Zaki melemparkan bukunya ke sembarang tempat. Dia menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Kepalanya sangatlah pusing, sekarang hanya ada satu nama yang ada di otaknya. Bu Siska! Ya, dia guru matematika. Tentunya pasti ini bukanlah hal sulit baginya. Dia pasti bisa mengajari dirinya. Tetapi apa sopan menelponnya tengah malam begini. Apa Bu Siskatidak akan mengamuk nantinya? Sudahlah, alangkah baiknya dilangsung saja menelponnya. Ini 'kan sudah tugasnya untuk membimbing anak-anak muridnya untuk menjadi pintar, untuk apa dia marah.
Sebelum menghubungi Bu Siska, dia komat-kamit di depan layar handphonenya. Berharap, baca-bacaan kali ini bisa meluluhkan hati Bu Siska yang sekedar batu nisan.
Dia yakin, pasti Bu Siska belum tidur sekarang, kendatipun ini sudah jam dua belas malam."Halo Zaki, ada apa?" Zaki sedikit terkejut ketika namanya disebut. Karena perasaan dia baru satu kali menghubungi Bu Siska, itu pun sudah lama---gara-gara dia mau izin untuk menghadiri acara ulang tahun adiknya, katanya. Dari situ saja Bu Siska sudah curiga, apalagi dia itu adalah anak sulung. Jadi, adik dari mana? Adik beneran atau asik-adikan?
"Eh, iya bu. Anu ... itu ...." Zaki gelagapan.
"Apa!?" Kini nada bicara Bu Siska sedikit meninggi membuatnya lebih gugup lagi. Kali ini, mungkin dia akan mendapatkan gelar sebagai murid paling rajin di sekolahnya.
"Saya mau tanya yang halaman 21 bu. Saya nggak paham tentang itu," terang Zaki.
"Maksudnya? Tentang apa?" Bu Siska tak mengerti muridnya yang satu ini sedang membahas apa.
"Pelajaran matematika bu," ucap Zaki semakin mengecil diujung kalimat.
"Kamu tau ini jam berapa!? Apa perlu saya sebutkan saya mengajar jam berapa?" geram Bu Siska. Dia pikir ada hal mendesak, sehingga Zaki harus menghubunginya tengah malam. Ternyata hanya ingin membahas pelajaran yang sudah lama terlewat oleh dirinya. Salah sendiri kenapa harus melarikan diri di pelajaran matematika. 'Kan jadi repot sendiri jadinya.
"Jam dua belas bu, hehehe." Zaki sedikit tertawa di ujung kalimatnya. Namun, Bu Siska tidak menanggapinya, jadi itu terlihat cringe.
Truttt ....
Panggilan langsung dimatikan dari sana, bertepatan dengan setelah dia mengatakan kalimat itu. Zaki mengusap wajahnya, sebenarnya dia sudah tahu akan menjadi seperti ini akhirnya, tetapi dia tetap saja mencobanya. Mana besok pelajaran matematika lagi. Jangan sampai Bu Kina mengungkit-ungkit kejadian ini lagi.
'Pokoknya gue akan berusaha sendiri. Demi pdktan gue dengan tuh cewek dingin. Yang ini jangan sampe lepas.'
****
Bu Siska masuk ke kelas, pandangan pertamanya jatuh ke arah Zaki. Mata tajamnya dan bagaimana dia menatap lawannya, benar-benar membuat Zaki seakan mati mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Mantan Ketiga Belas
Teen Fiction🐊🐊🐊 "Kita ... putus aja, ya? Kamu itu bukan wanita seperti yang aku idamkan. Kamu itu sadis ...," ucapnya mengecil di ujung kalimat. Lian mendelik, salah satu tangannya memegang batu bata, yang siap kapanpun dilempar di wajah laki-laki di hadapan...