Bel masuk sudah berbunyi, semua murid berhamburan masuk ke kelas-kelas masing-masing. Pak Imam---guru pelajaran pendidikan kewarganegaraan---sudah tiba di kelas. Dia duduk di kursi kesayangannya. Meletakan semua pelaratan mengajarnya di meja berjejer.Namun, sebelum belajar mereka memberikan salam kepada Pak Imran dipandu oleh ketus kelas, kemudian berdoa.
"Baik, buka halaman 51," titah Pak Imran, dia memegang buku di tangannya. Menyibakkan halaman demi halaman yang dituju.
Semua murid mengikuti instruksi Pak Imran, mereka mengeluarkan buku peket pendidikan kewarganegaraan. Pun Lian, dia juga mengambil tasnya yang dia letakan di samping meja, tergantung di samping meja.
Dia cemas, ternayata bukunya tidak ada di tasnya. Sepertinya dia memang tak membawa buku itu. Dia meletakannya di meja belajarnya. Dia baru ingat akan hal ini. Tetapi bagaimana ini? Apa dia akan dihukum lagi? Kali ini, dia benar-benar lupa. Baru saja kemarin dia mendapatkan hukuman. Lian tertunduk lesu.
Zaki melihat Lian dari belakang. Air wajahnya nampak tak baik, dia juga tak mengeluarkan buku seperti yang lainnya.
Kepala Zaki mendekat ke arah Lian, tanpa sepengetahuan Pak Imran. Dia berbisik di sisi telinga Lian. Suaranya kecil, tetapi masih bisa didengar oleh gadis itu.
"Ada apa?"
Lian menoleh sekilas, dia mendengar seseorang bertanya padanya. Dia sudah tahu sang pemilik suara, dia hanya ingin memastikan kalau itu adalah dirinya.
Lian tak menjawab, tetapi dari ekspresinya dia bisa menilai itu semua. Pasti gadis ini takut karena dia tak membawa buku. Ditambah suara Pak Imran yang kembali memberikan peringatan untuk mengeluarkan buku pendidikan kewarganegaraan.
"Yang tidak membawa buku silahkan berdiri! Tidak ada lagi toleransi kali ini. Saya tidak suka jika kalian tidak menaati peraturan saya!" tekan Pak Imran.
Lian menelan salivanya berat, bola matanya mengedar ke arah sekelilingnya. Tidak ada! Dia sendiri yang tak membawa buku. Baru saja Lian hendak berdiri, tiba-tiba Zaki langsung meletakan bukunya di meja Lian. Dia berdiri dan maju ke depan sebagai sosok yang akan mendapatkan hukuman.
Lian terdiam, dia tak menyangka Zaki akan memberikan bukunya padanya. Dia sedikit khawatir, apa yang gerangan akan terjadi pada laki-laki itu. Dia juga tak mau menerimanya. Tetapi bagaimana cara menolaknya?
"Kamu lagi, kamu lagi! Nggak bosan-bosan apa dihukum terus? Kayaknya kamu memang mau dikasih efek jera supaya benar-benar kapok." Pak Imran bersedekap dada. Dia sudah hapal wajah ini, wajah yang tak pernah membawa buku di pelajarannya. Dia sudah beberapa kali menghukumnya. Namun, laki-laki ini tak kapok-kapok.
Bukannya Zaki tak pernah membawa buku. Tetapi bukunya selalu dia berikan pada siswi-siswi cantik yang lupa membawanya. Dia selalu menjadi pahlawan bagi mereka semua. Ingat, hanya siswi cantik. Karena, itu juga termasuk ke dalam prinsip hidupnya.
"Lama-lama saya bisa darah tinggi ngadepin kamu. Apa kamu tidak usah belajar di pelajaran saya saja? Kamu kayaknya memang nggak niat ada di kelas saya."
Lian semakin cemas melihat Pak Imran tak berhenti berceloteh. Dia merasa bersalah kepada Zaki. Seharusnya dia yang berada di sana. Tetapi dia berusaha mengendalikan raut wajahnya sedatar mungkin dan sedingin mungkin. Jangan sampai ada yang mengetahui eksperinya kali ini. Tetapi apa kalian tahu, kali ini laki-laki itu bisa menilai ekspresinya. Apa gadis itu memang telah berubah? Tak sedingin dulu lagi? Apa dingin itu adalah penyakit?
"Jangan pak, saya niat kok mau belajar. Sampai-sampai saya selalu mimpiin bapak di setiap hari pelajaran bapak." Semua tergelak tertawa dengan ucapan Zaki, tetapi mereka mencoba menahannya. Pak Imran menyadari situasi lain, dia sedikit malu mendengar ucapan muridnya satu ini. Apa dia ini memang tak punya malu?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Mantan Ketiga Belas
Teen Fiction🐊🐊🐊 "Kita ... putus aja, ya? Kamu itu bukan wanita seperti yang aku idamkan. Kamu itu sadis ...," ucapnya mengecil di ujung kalimat. Lian mendelik, salah satu tangannya memegang batu bata, yang siap kapanpun dilempar di wajah laki-laki di hadapan...