Tungkai kakinya baru saja meninggalkan kamar tidurnya. Berjalan perlahan menuruni puluhan anak tangga. Panggilan dari laki-laki yang memiliki peran atas kehadirannya di dunia itu membuat Rania kesal. Pasalnya, dia sangat membenci sosok ayahnya itu karena Rania tidak pernah merasa dianggap ada.
Di pertengahan tangga Rania menghentikan langkahnya. Matanya mendapati sang ayah sedang asyik berbincang dengan seorang laki-laki yang selalu mengisi hatinya. Laki-laki yang sempat membuatnya seolah menjadi ratu. Laki-laki yang Rania pikir selalu mengerti dirinya. Laki-laki yang selalu Rania pikir akan ada di sampingnya. Itu hanya pemikiran yang tak berdasar dari kepala seorang Rania. Bodohnya dia sempat berpikir begitu.
Namun atensinya teralihkan pada sosok gadis di samping laki-laki itu. Matanya memicing tak suka. Mengingat Riri, pembantu rumahnya yang mengatakan jika pertunangannya dibatalkan oleh pihak pria. Rania menjadi semakin emosi setelah berpikir jika gadis itu adalah alasan putusnya hubungan Rania dengan Danial.
Sementara ayah Rania hanya meng-iyakan permintaan Danial. Ia tak begitu antusias dengan perjodohan Rania dan Danial sebelumnya, karena itu hanya demi kemajuan perusahaannya. Buktinya saja dengan santainya ayahnya berbincang ria tanpa perduli jika ada Rania yang memperhatikan. Ia tidak perduli seperti apa hancurnya perasaan Rania. Putrinya sendiri.
Ah iya, Rania 'kan tidak dianggap.
Tepat setelahnya Danial, laki-laki itu menoleh ke arahnya. Danial tersenyum miring seolah memberitahu Rania jika meninggalkannya adalah hal remeh bagi Danial.
Apakah Rania dipanggil hanya untuk melihat ini?
"Kenapa kalian gak mati aja sih?" sergah Rania mengalihkan perhatian ketiga orang itu ke arahnya. Semua orang pasti tahu jika Rania sangat kejam dengan ucapannya.
Tak tahan dengan suasana itu Rania pun berbalik arah kembali menaiki tangga dengan langkah cepat.
Bukannya kembali ke kamarnya, Rania memilih membuka pintu balkon dan menangis di sana.
Tanpa Rania sadari, seseorang menghampirinya dan berdiri di sampingnya. Tangannya terlipat di dadanya dengan menampilkan senyuman lebar. Dia terlihat bahagia melihat Rania menderita.
"Nangis ya? Uluh uluh, bahagianya gue," ujarnya disusul tawa mengejek.
"Mau apa lo?"
"Mau lihat adik gue menderita. Soalnya itu yang bikin gue seneng." Leo bersandar pada pagar balkon tepat di samping Rania. Senyumannya belum juga luntur dari bibirnya.
"Cih, licik." Rania berpaling.
"Udah dari dulu gue bilang kan. Kalo lo gak akan pernah bahagia setelah masuk rumah ini. Terbukti kan?" Leo kembali tertawa. Kadang kala Rania berpikir jika Leo memiliki kelainan jiwa yang membuat dia tiba-tiba tertawa tanpa sebab.
"Itu semua gara-gara lo ya. Dasar gila!" Rania menatap sang kakak tajam. Dia kesal dengan Leo yang masih terus terkekeh pelan.
"Gue? Lo aja kali. Pembuat onar yang gak sadar tempat. Punya mulut yang tajem dan gak ngerti aturan. Gue gak heran sih kalo Danial milih ninggalin lo yang kekanakan ini."
"Lo mati aja sana!" Rania semakin kesal karena ucapan kakaknya. Dia yang tadinya sudah menahan amarah malah ditambah dengan omongan tidak bermutu sang kakak. Rania semakin kesal saja. Sampai kapan Leo akan terus memancing emosinya naik ke ubun-ubun seperti ini?
"Sshhh, sadis juga adik gue." Leo mendesis lalu kembali tertawa. Hahaha....
Sementara Rania mulai naik pitam tak tahan dengan kakaknya yang selalu mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania
Teen FictionTentang Rania dengan segala presepsi buruk dalam pikirannya. Itu hanyalah mimpi, tapi mengapa terasa nyata? Berperang dengan pikiran akan apa yang harus ia pilih. Memilih mempertahankan tunangannya yang masih sangat dicintainya atau memilih meningg...