Bagian I

36 5 0
                                    

|Seutas Janji pada Mbah Wedok|

Keterangan:
Wedok (perempuan)
Lanang (laki-laki)
Le (panggilan 'nak' untuk anak laki-laki)
Mak (panggilan 'bu')

***

Sore kala itu tampak hening, angin berembus cukup semilir menyapu suara dari bambu bergoyang. Cahaya temaram dari dalam hunian Mbah tak cukup menerangi rumah adat limasan miliknya yang memiliki empat sisi dengan saka berdiri kukuh di tengah ruang. Rumah ini cukup sering ditemukan di Jawa, termasuk di Kabupaten Pati, tempat Mbah Wedok dan Mbah Lanang tinggal.

Kabupaten Pati sendiri terletak di Provinsi Jawa Tengah, dan memiliki semboyan 'Pati Bumi Mina Tani' yang dapat dibaca pada gapura gagah nan perkasa ketika memasuki wilayahnya. Kota ini juga mendapatkan julukan Kota Seribu Paranormal.

Kata Mbah, rumah adat limasan mempunyai atap berbentuk limas, maka dari itu dinamai Limasan. Sedangkan tipe, rumah adat limasan memiliki beberapa tipe, yaitu; Semar Pindohong, Gajah Mungkur, Klabang Nyander, dan Limasan Lawakan. Dan nama-namanya terdengar menyeramkan di telingaku.

Sekarang aku sedang duduk di emperan rumah Mbah dengan mengelus dua itik kecil yang kuminta dari kandang bebek belakang rumahnya. Mbah Wedok yang duduk di sampingku sambil menyisik lidi yang ia buat, tampak sayu dengan kulit kuning langsat dipenuhi kerutan di kulitnya sampai pipi gembulnya meluruh ke bawah.

"Mbah, umur Mbah Wedok berapa?"

Saat kutanya, Mbah Wedok menjawab bahwa ia lupa. Aku paham bahasa Jawa tetapi bingung mengucapkannya, karena aku terlahir dan tinggal lama di Jakarta. Sedangkan Mbah Wedok seringkali menggunakan bahasa Indonesia yang tercampur bahasa Jawa.

"Kalau mbah Lanang, berapa?"

Mbah Wedok kembali menjawab tak tahu. Aku mengerutkan kening tak mengerti, ada apa dengan mereka? Apakah mereka tak pernah meniup lilin ulang tahun sampai tak tahu umurnya? Apakah mereka tak pernah sekolah sampai tak tahu berhitung? Aku yang ketika itu masih sepuluh tahun hidup di Bumi dan sangat cetek ilmu lantas kembali menatap Mbah penasaran.

"Memangnya Mbah Wedok tak diberi tahu ibu Mbah, kapan Mbah lahir?"

Mbah tertawa kecil sampai terlihat beberapa gusinya yang ompong tak ada gigi. Ia mengelus rambutku takjub dan menggelengkan kepala.

"Mbah, kenapa kulitmu bisa ditarik? Apa ini sakit?" Aku bertanya dengan sangat penasaran sambil menarik kulit punggung tangannya sampai berdiri menjulang, lalu kukembalikan seperti semula, kemudian kutarik lagi, lalu kukembalikan seperti semula. Fase itu terus aku ulang-ulang sampai akhirnya Mbah Wedok menggeleng.

"Mbah, wajahmu kenapa berkerut seperti orang-orang yang dipajang di figura kelasku? Kata bu guru, mereka itu orang-orang yang sudah menciptakan Pancasila dan melawan penjajah negara kita!"

"Yang menjajah namanya Londo, Le ...."

Aku terdiam sejenak, memikirkan maksud Mbah Wedok. Kemudian aku menatapnya menyalahkan. "Tidak, Mbah! Bukan Londo. Kata bu guru tidak ada Londo, aku bahkan menghapalkan. Adanya itu Belanda ... bukan Londo. Belanda Mbah, Belanda!" ucapku, ngeyel.

"Iyo uwes. Randi memang lebih pintar dari Mbah." Mbah tersenyum, jelas saja aku ikut senang mendapat pujian darinya.

Sesudah menyisik lidi dan mengumpulkan pada tampah anyaman bambu yang ditaruh di sebelahnya, Mbah Wedok melepas ikatan kain batik jarik yang dililitkan pada tubuhnya, aku memperhatikan gerak gerik Mbah. Jika dilihat-lihat, sepertinya Mbah Wedok berumur enam kali lipat dariku atau bahkan lebih. Dan itu benar-benar menakjubkan!

Mbah Wedok memberiku uang yang tadinya ia simpan di gulungan jariknya, uang sepuluh ribu, tetapi sangat berharga untuk kuterima.

"Mbah Wedok tahu pak Soekarno?"

Mbah mengangguk. "Ketika Mbah Wedok masih muda, pak Soekarno presidennya, Le."

Aku terkejut, senang bukan main. Aku segera berlari memasuki rumah, menitipkan dua itik yang sudah kunamai It dan Ik agar lebih mudah ketika memanggil keduanya, pada Mbah Lanang yang sedang meminum kopi. Buru-buru aku keluar dan kembali duduk di samping Mbah Wedok dan menatapnya antusias, aku memaksanya menceritakan tentang bagaimana Pak Soekarno. Bagiku, Mbah Wedok sangatlah keren pernah hidup satu jaman dengan Pak Soekarno.

Mbah Wedok menghentikan kegiatannya, ia menatapku dengan mata lengsernya, sembari tersenyum ia memberi syarat yang membuatku terdiam seribu bahasa.

Perjanjian yang amat berat dan sangat tak kusukai, yaitu; belajar mengaji.

Aku manyun, memandangi hamparan lapangan desa yang ada di seberang jalan depan rumah Mbah. Beberapa detik kemudian, aku mengangguk ragu dan duduk menghadap Mbah Wedok yang bersiap untuk bercerita sambil menyisik lidi.

Dan sore itu, ketika matahari hendak terlelap dengan bayang semu serta kemilau kuningnya yang menusuk dari celah-celah pohon bambu yang membungkuk, Mbah Wedok menceritakan padaku tentang Pak Soekarno. Mulutnya masih begitu lancar dengan sesekali tertawa memperlihatkan gigi ompongnya.

Mbah Wedok bercerita tentang kepercayaan orang termasuk dirinya bahwa sebenarnya Pak Soekarno tidak benar-benar meninggal. Juga tentang tongkat Pak Soekarno yang katanya mengandung hal-hal mistis dan selalu beliau bawa. Cerita itu terus mengalir, melebar, menjalar ke segala arah, sampai menuju ke mitos-mitos Pati.

Sore itu juga aku jatuh cinta pada Mbah. Bukan seperti Ayah jatuh cinta pada Ibu, tetapi cucu yang teramat cinta pada Neneknya. Aku menyayangi Mbah Wedok, sangat-sangat menyayanginya.

***

Seutas Janji pada Mbah WedokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang