Seperti persyaratan Mbah Wedok, aku menginjakkan kaki di langgar tak jauh dari rumahnya dengan muka kusut. Ibu yang mengantarku, tengah berbicara dengan seorang wanita guru mengaji yang mengajar beberapa murid kumal dengan sandal jepit dan sepeda jengki seumuranku.
Ibu meminta ijin guru ngaji itu untuk mengajariku cara mengaji dari dasar, yaitu huruf hijaiyah. Umurku sudah sepuluh tahun, tetapi aku tak bisa dan tak pernah mau mengaji. Aku selalu marah dan merajuk ketika disuruh mengaji. Malam itu, dengan terbata-bata dan perasaan agak malas, aku mempelajari huruf hijaiyah.
Keesokan paginya, aku, Ayah, dan Ibu, bersiap membawa barang ingin kembali ke Jakarta. Aku sedih, sangat sedih harus meninggalkan rumah Mbah Lanang dan Mbah Wedok.
Aku mencium pipi gembul Mbah Wedok yang sudah melorot dan memintanya berjanji agar menceritakan tentang Saridin; orang yang katanya bisa mengisi air dengan keranjang bolong, dan orang yang mengatakan setiap ada air ada ikan, termasuk air comberan, air kelapa, dan berbagai air lainnya. Mbah berjanji padaku, tetapi aku harus belajar mengaji.
"Randi harus mengaji, biar jadi anak sholeh bisa doain Mbah Lanang sama Mbah Wedok kalau sudah meninggal." Itulah kata Mbah Wedok sebelum aku benar-benar masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan ke arahnya.
***
Hampir satu tahun aku tak pernah berkunjung ke Pati, ayah dan ibu sibuk bekerja di kota Jakarta yang padat dan komplek rumahku yang ramai namun terasa tak memiliki teman karena rumah-rumah saling memiliki pagar yang menjulang membuatku kebosanan. Aku merindukan duduk di emperan rumah Mbah sambil mendengarnya bercerita.
Ngomong-ngomong soal Mbah Wedok, aku sudah mengingkari janji dan berkhianat, aku tak pernah belajar mengaji di sini. Aku masih suka merajuk dan lebih memilih bermain. Aku tak memedulikan janjiku pada Mbah Wedok karena menurutku itu tak penting sama sekali.
Ketika malam hari, tidurku terganggu dengan suara bising di ruang tamu, suara Ibu membangunkanku. Ibu terdengar panik sambil berkata pada Ayah kalau sekarang juga kita harus ke Pati. Buru-buru aku bangun dan berjalan dengan tubuh yang sudah terisi penuh oleh nyawa karena mendengar kata Pati perasaan berubah tak enak.
Terlihat Ibu memberesi pakaian dan memasukkan ke koper, ia menyuruhku mengenakan jaket dengan terburu-buru. Ayah mengeluarkan mobil dari garasi, dan malam itu sekitar pukul 09.00 WIB kita meninggalkan kota Jakarta dengan mengantongi berbagai pertanyaan yang menghujani otakku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Seutas Janji pada Mbah Wedok
Short Story[cerita pendek - selesai] di pojok kamar seakan mati terdampar dalam sunyi berlarut-larut kaku menonton ganasnya kehidupan K i P u t e r i - June 21