Bagian III

9 3 1
                                    

Ruangan di tengah rumah adat limasan nampak sunyi, semua mulut terkatup rapat oleh perasaan gundah yang kian mendalam. Ranjang kayu jati nampak gelap reot termakan waktu yang bergulir semakin hari semakin cepat menelan peradaban.

Di sana, seorang wanita tua ringkih dengan pipi gembulnya yang lengser terbujur kaku tak berdaya, matanya menelisik ke segala arah, mencari tujuan yang tepat untuk menerangi penglihatannya. Matanya tak henti membuka, menatap enam manusia yang berdiri mengelilingi dirinya, mungkin yang ada di pikirannya, "Mereka siapa?"

Ini adalah jawaban atas kepanikan ibu.

Aku terdiam menatap pemandangan memilukan ini, Mbah Wedok terdiam memandangiku bingung. Kami berenam; aku, Ayah, Ibu, Mbah Lanang, Bude, Pakde ... sejak sejam yang lalu menunggui Mbah Wedok yang sudah menjadi linglung.

Kata Bude, Mbah Wedok sejak lama punya penyakit gula, kemarin Mbah Wedok sempat diperiksakan, tetapi ketika habis sholat Magrib tiba-tiba ia seperti orang kehilangan arah tujuan hidup, matanya mengamat ke segala arah, wajahnya yang termakan usia menahan perih entah di mana, bibirnya membuka mengatup menyebut nama Emak dan Bapak.

"Ini, Mak. Ada cucumu ..." Bude mengatakan itu menggunakan bahasa Jawa, mengajakku mendekat pada Mbah Wedok yang langsung meraba tanganku dengan muka bingung.

Aku mendekati pipi Mbah Wedok, membisikkan padanya, "Aku Randi, Mbah. Mbah Wedok lupa sama Randi?"

Tetapi ia tak bersuara, malah menjauhkan tangannya dariku dan meraba-raba tubuhnya sendiri yang sudah telanjang dada hanya mengenakan popok seperti bayi. Ketika semua orang di sana melega karena Mbah Wedok terlihat lebih baik, kembali was-was dengan suara pelan Mbah menyebut Emak dan Bapaknya lagi.

Pakde saling bicara dengan manusia dewasa lainnya, pembahasan yang tak kumengerti sampai kemudian Ayah segera menghampiri dan menggerakkan sedikit wajah Mbah Wedok ke arah barat, kata Ayah itu namanya kiblat. Aku berdiri di sana dengan gemetar sedih, aku takut kalau ucapan Mbah Wedok yang terakhir kali menatapku dulu di Pati benar-benar terjadi.

Aku termenung dalam lantunan ayat-ayat surah Yasin yang dibacakan Ibu dan Bude. Ayah masih senantiasa berada di samping Mbah Wedok, mendekatkan bibir pada telinga Mbah sembari membisikkan, "Ayshadu An-la ilaha illallah Wa Ayshadu Anna Muhammada Rasulullah" untuk keempat kalinya ayah membisikkannya dan akhirnya syahadat kelima bersamaan napas Mbah Wedok tersengal-sengal lalu mengembus halus dan deru napasnya hilang begitu saja.

Mataku berembun, air membanjiri wajahku, ketika kutatap untuk terakhir kalinya terlintas tawa lebar Mbah Wedok yang pelan sampai terlihat gigi ompongnya.

Kucium pipi Mbah Wedok yang sudah pucat. Hatiku tergerak dengan segenap janji untuk belajar mengaji, dan mengembalikan tawa Mbah Wedok di kehidupan yang berbeda, dengan doa yang kupanjatkan di samping tanah gundukan berujung kayu bertuliskan, 'Satimah'. (*)

Seutas Janji pada Mbah WedokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang