13 : Pernikahan

395 64 28
                                    

Ada penggabungan di sini, jadi chap ini terasa lebih panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada penggabungan di sini, jadi chap ini terasa lebih panjang.

Siapa yang kangen Ryo dan Yuan?
Siapa yang berharap bisa jadi Yuan?

Atau ada yang mau jadi Neida aja biar bisa nikah ama papa Aria?

Enjoy ya

----------

[Sourire]

Hari pernikahan yang dinantikan tiba. Pernikahan yang hanya disambut bahagia oleh Neida dan Aria. Tidak untuk Arash. Remaja itu berdiri mematung di depan cermin di toilet. Berharap hari ini cepat berlalu. Bahkan berharap hari ini tidak terjadi. Tampilannya tidak begitu rapi karena tidak ada yang membantunya. Sang ibu sibuk berdandan di ruang pengantin, membuatnya tidak bisa menghampiri sang ibu.

Beruntung setelah sang ibu selesai dengan riasannya, Arash bisa bertemu dengan sang ibu. Ia akan menjadi pendamping Neida menuju altar, menemui calon suaminya. Arash menyerahkan lengan kanan agar sang ibu bisa menggandengnya. Sebelum melangkah, Neida memperhatikan Arash dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu tidak pakai dasimu, Ar?" tanya sang ibu.

Arash menggeleng sambil tersenyum tipis. "Tidak usah, Bu. Begini saja sudah cukup. Sudah tampan kan?" canda Arash seadanya. Ia hanya berusaha untuk menutupi rasa tidak sukanya di hari bahagia sang ibu.

"Bu, apakah Ibu benar-benar mencintai Paman Aria?" Pertanyaan Arash di tengah langkah mereka membuat Neida terhenyak dan langsung menoleh pada Arash yang berekspresi datar dengan tatapan lurus ke depan.

"Ibu tidak akan menikahinya kalau Ibu tidak mencintainya, Ar." Jawab Neida pelan.

"Ibu tidak mencintai ayah lagi?" Sekali lagi, Neida tertohok. Kali ini langkahnya terhenti, membuat Arash memandang sang ibu. "Sudah tidak ada lagi ruang untuk ayah di hati Ibu?" Arash memperjelas pertanyaannya.

Neida menggeleng sambil tersenyum kikuk. "Kita tidak perlu membicarakan ini, Arash. Ini hari penting, kau tahu kan?"

Arash tersenyum miris sambil mengangguk dan mereka melanjutkan langkah. "Ya, aku tahu. Ini adalah hari penting untuk Ibu, tapi tidak untukku." Sambung Arash samar. Neida terganggu dengan jawaban Arash tapi ia berusaha menyimpan perasaan apa pun yang harusnya meluap untuk menjaga kelancaran acara.

Saat tangan sang ibu sudah berpindah ke tangan pengantin pria, Arash mengambil posisi untuk duduk di kursi paling depan. Menjadi salah satu saksi pengucapan ikrar setia sang ibu dengan pria lain yang selama ini selalu menjadi asing baginya.

Semua tamu undangan berdiri saat melihat Neida yang digandeng oleh Arash di depan gerbang dedaunan yang menambah cantik pesta pernikahan sederhana itu. Arash tidak tersenyum sumringah seperti sang ibu, tapi ia berusaha untuk tidak terlihat murung.

SourireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang