----------
[Sourire]
Ryo memegang saddle sepedanya dengan tangan kanan. Tangan kirinya memegang stang. "Lemaskan saja lenganmu. Kau dorong pedal kanan, lalu kau lanjutkan dengan kaki kiri. Begitu seterusnya. Jangan lupa tangan kirimu harus bersiap untuk menekan rem. Mengerti tidak, Yuan?"
Yuan menelan ludah dengan susah payah. "Teori lebih mudah dimengerti daripada praktiknya, Ryo." Jawabnya.
Ryo memerintahkan Yuan untuk mengayuh. Yuan berhasil mengayuh sepedanya, meski dengan bantuan Ryo yang masih memegang . Saat Yuan sudah meningkatkan intensitas mengayuh, Ryo perlahan melepaskan pegangan. Membiarkan Yuan melaju di tengah lapangan luas yang sengaja Ryo pilih untuk latihan sepeda hari itu.
"Belokkan stangnya, Yuan! Putar balik!" teriak Ryo. Yuan mendengar perintah Ryo dengan baik, tapi tangannya tidak bisa menjalankan perintah itu dengan benar hingga membuatnya tersungkur ke tanah. Ryo berlari menghampiri Yuan. "Tidak apa-apa kan?" tanyanya sambil mengangkat sepeda yang menimpa kaki Yuan.
"Tidak mau latihan lagi, Ryo." Rengek Yuan. Ryo berdecak sambil membantu Yuan berdiri.
"Kenapa? Harus latihan lagi, Yuan. Nanti kau malah tidak bisa bersepeda. Katanya ingin bisa bersepeda denganku di sore hari." Ujar Ryo sambil membersihkan sisa pasir di lutut Yuan.
"Tapi, aku tidak bisa mengendalikan stangnya dengan baik. Nanti aku malah merusak sepedamu." Ujar Yuan dengan wajah merengut.
"Belajar lagi. Tidak apa-apa. Sepeda rusak bisa diperbaiki. Kalau tidak bisa diperbaiki, beli lagi. Ayo, naik. Aku pegangkan." Ryo memegang sepeda dan menyuruh Yuan untuk mencoba sekali lagi. Yuan memandang Ryo sambil memelas, tapi sepertinya Ryo tidak bisa dibantah. Akhirnya, Yuan memberanikan diri untuk kembali menaiki sepeda dan mulai mengayuh lagi. Sepanjang siang, Yuan sudah enam kali terjatuh dan Ryo menyuruhnya untuk terus belajar bersepeda.
Matahari sudah mulai terbenam. Ryo dan Yuan memutuskan untuk beristirahat sambil duduk di rerumputan yang ada di lapangan.
"Besok pasti bisa. Gagalnya sudah dikumpulkan hari ini. Jadi besok kita lihat hasil latihannya ya?" ujar Ryo sambil menenggak sebotol air mineral dingin yang baru mereka beli dari minimarket terdekat. Yuan mengangguk sambil mengusap telapak tangan dan lengannya yang lecet.
Ryo melirik pada Yuan yang sesekali meringis. "Sakit? Mana sini kulihat." Ryo menarik tangan Yuan dan menyiramnya dengan air. Yuan berteriak karena terkejut.
"Pedih, Ryo!" protesnya.
"Bawa tisu? Keringkan dengan tisu." Perintah Ryo. Sambil berdecak, Yuan menuruti perkataan Ryo dan mengambil tisu dari dalam tasnya. Ryo memperhatikan gerak-gerik Yuan, lalu tersenyum sangat tipis saat Yuan selesai. Saat Yuan menoleh pada Ryo, pemuda itu cepat-cepat memalingkan wajah.
"Kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?" tanya Ryo yang merasa dipandangi oleh Yuan.
Yuan menghela napas panjang. "Kau adalah orang yang keras kepala. Cuek. Kadang bisa membuatku kesal bukan main, tapi wajahmu tampan. Aku pasti tidak jadi marah kalau sudah lihat wajah tampanmu." Tutur Yuan sambil tersenyum tipis. Ryo berdeham kikuk. Sedikit malu karena dipuji oleh pacarnya sendiri.
"Ryo, kenapa kau memintaku untuk jadi pacarmu waktu itu?"
"Kan kau duluan yang menyatakan perasaanmu. Setelah pertandingan itu, kau ingat kan? Kau yang memberiku amplop surat yang isinya ..."
"Cukup! Sudah. Isi suratnya tidak usah dibahas." Yuan mengangkat tangannya, lalu menggigit bibir. "Aku malu." Sambungnya, sambil menunduk. Ryo terkekeh, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Kupikir tidak ada salah memiliki seorang pacar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sourire
General FictionSebuah kisah tentangnya, yang ingin berjuang bersama dirinya sendiri. "Aku sudah terbiasa dengan rasa rindu yang tidak diobati. Aku tidak butuh seorang ibu, Yah." --- Ryo Beautiful cover by @Hnzl07