---------
[Sourire]
Sudah seminggu sejak perubahan sikap Ryo yang membingungkan seisi rumah. Kadang ia akan terlihat sehat, bugar, dan baik-baik saja. Bisa tertawa lepas dan tertawa karena hal-hal sederhana. Kemudian, tiba-tiba ia akan menjadi pendiam. Tidak menyukai banyak hal. Bukan itu saja yang membuat Jun dan Maria cemas. Ryo melupakan banyak hal, termasuk tentang dirinya sendiri.
"Ah! Ryo!" Teriak Maria suatu pagi, saat melihat Ryo memegang gunting di depan cermin yang ada di ruang keluarga. Maria terkejut karena Ryo memegangnya tinggi, tepat di samping telinga. Maria tidak akan histeris jika keadaan Ryo normal-normal saja. Namun, saat ini Ryo dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Mata Ryo yang sayu terlihat kosong. Gerakan matanya melambat. Bibirnya pucat.
Jun buru-buru berlari dari kantornya menuju rumah utama. "Ada apa?" Tanyanya sambil terengah-engah.
Maria hampir menangis sambil memandang Jun dengan penuh panik.
"Jun ... Ibu takut," tutur Maria dengan suara bergetar. Sementara, Ryo masih memegang gunting seolah akan menggunting telinganya sendiri. Cepat-cepat Jun mendekati Ryo, tapi ia memelankan gerakan saat Ryo menoleh, menyadari kehadiran sang ayah.
Jun tersenyum, seolah merasa tak cemas sedikit pun. "Hai, Nak. Sedang apa?" Tanyanya, sambil terus mendekat. Ia tak ingin bergerak terlalu tiba-tiba, yang nantinya akan membahayakan dirinya sendiri dan Ryo karena putranya itu sedang memegang benda tajam.
"Hm? Ayah?" Gumam Ryo, seperti orang bingung.
Jun masih menjaga senyumannya. "Kenapa dengan gunting itu, Nak? Apa yang sedang Ryo lakukan?"
"Aku mau memotong rambutku. Rambutku jelek sekali, Yah," jawab Ryo, lalu kembali menatap cermin. Hati Jun mencelos mendengarnya. Rambut Ryo sudah sangat tipis karena terapi untuk penyakitnya. Memang terlihat tak indah.
Jun mengangguk. "Baiklah, Ayah mengerti, tapi bolehkah Ryo letakkan dulu guntingnya? Biar nanti Ayah yang rapikan rambut Ryo."
"Tidak!" Seru Ryo sambil bergerak mundur. Maria menjerit histeris karena ujung gunting menggores pipi Ryo, membuat darah mengalir. Hati Jun semakin tak tenang. Ia tetap melangkah pelan mendekati Ryo dan saat dirasa jaraknya sudah cukup, cepat-cepat ia meraih pergelangan tangan Ryo yang memegang gunting. Ia dorong Ryo ke dinding dengan keras, lalu mengunci kedua tangan sang putra.
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Teriak Ryo sambil memberontak. Maria bergerak mendekat untuk mengambil gunting dari tangan Ryo. Lalu, saat semua sudah terkendali, Jun melonggarkan kunciannya pada tangan dan tubuh Ryo, kemudian memeluk putranya yang masih berteriak-teriak.
"Shh ... Shh ... Ryo, tenanglah," bisik Jun sambil mengusap punggung putranya. Teriakan protes Ryo berubah menjadi tangisan kencang. Tubuhnya melemah, tapi tangisnya terdengar begitu memilukan.
"Maaf. Maafkan aku," isaknya sambil memeluk sang ayah. Jun harus menahan diri untuk tak ikut hanyut dalam keadaan. Ibunya sudah menangis, tak mungkin ia harus menangis pula.
--------
"Masukkan semua baju itu ke dalam kardus ini, Ar. Ibu harus merapikan beberapa peralatan dapur yang harus dikemas juga," ujar Neida. Arash melakukan perintah tanpa suara. Hatinya sudah cukup sakit harus melakukan ini semua. Pindah dan semakin jauh dengan orang-orang yang ia cintai, padahal baru saja bertemu. Membujuk sang ibu pun tidak mungkin.
Saat barang-barang sudah tersusun rapi di dalam kardus, bel rumah mereka berbunyi. "Ah, mungkin itu petugas angkutan barang. Biar Ibu saja yang buka. Kauu lanjutkan saja membereskan barang-barangmu, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sourire
General FictionSebuah kisah tentangnya, yang ingin berjuang bersama dirinya sendiri. "Aku sudah terbiasa dengan rasa rindu yang tidak diobati. Aku tidak butuh seorang ibu, Yah." --- Ryo Beautiful cover by @Hnzl07