Jenuh

34 5 0
                                    

          Tak terasa hubungan Ariani dan Indra sudah menginjak bulan ke delapan belas. Seharusnya tidak ada lagi keraguan, dan orang - orang yang sebelumnya menentang, semestinya bisa melihat keseriusan mereka.
Harusnya hubungan mereka semakin kokoh. Mereka berdua, terutama Indra, sudah yakin bahwa hubungan mereka tak akan lagi terganggu oleh apapun. Seiring dengan itu, mereka berdua sudah jarang bersuratan dan menuliskan kata - kata mesra. Tak ada lagi tuntutan untuk bertemu secara sembunyi - sembunyi seperti dulu.
Indra sudah yakin akan cintanya dan mulai mengabaikan hal - hal kecil yang sangat disukai Ariani.

          Ariani mulai merasa bahwa Indra telah berubah, ia kehilangan Indra yang dulu, yang selalu memberinya perhatian lewat puisi dan kata-kata cintanya.
Ariani jenuh, bukan saja karena perhatian Indra yang sudah berkurang, namun ia juga jenuh dengan keadaan yang sepertinya tak berpihak pada cinta mereka. Ariani sudah letih dengan semua ini.

          Dan akhirnya tanpa mengatakan kepada Indra sebelumnya atau meminta pendapatnya, Ariani memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Ia tak ingin selamanya seperti ini, ia ingin bekerja dan menghasilkan uang sendiri, meski tentu saja penghasilannya tak akan besar karena ia hanya tamatan SLTA, tapi setidaknya ia tak mau terus-terusan menganggur. Lowongan kerja yang dijanjikan abangnya dulu di awal kedatangannya ke kota ini hanyalah angin surga belaka.
Jadi sudah dipastikan minggu ini dia akan kembali ke kampung halamannya, ayahnya pun sudah mengiriminya uang untuk ongkos kapal dan uang saku yang lumayan banyak.

          Besok Ariani akan pulang, dan hari ini ia bertandang ke rumah beberapa tetangga dekat untuk berpamitan, termasuk ke rumah Indra. Tapi Indra tak ada di rumah, hanya ada ibunya saja. Dan dari beliau Ariani tau kalau Indra ada di rumah Iwang yang letaknya tak jauh dari rumah Indra. Ariani pun segera kesana, dan benar saja Indra ada disana. Iwang yang tahu kedatangan Ariani, langsung masuk ke dalam dan memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk bicara.

          Ariani bingung harus memulai dari mana, langsung berpamitan kah atau membicarakan tentang hubungan mereka yang selama dua bulan ini seperti menggantung. Ariani masih diam, berharap Indra yang memulai pembicaraan. Tapi ditunggu hingga sekitar lima menit Indra tetap diam. Hanya ada keheningan di antara mereka. Sekilas Ariani melirik ke arah Indra. Ya Tuhan, wajah itu begitu datar tanpa ekspresi. Tak ada sedikitpun kehangatan dan kelembutan yang biasanya Indra tunjukkan dihadapannya. Ariani bisa mengerti kemarahan Indra karena kepulangannya ke Jakarta ia dengar lewat mulut tetangga-tetangganya bukan dari Ariani sendiri. Ariani tahu ia bersalah tapi ada rasa takut untuk bertanya, apalagi saat ini, jangankan berbicara, memandang wajah Ariani saja Indra tak mau. Ariani sudah bersiap untuk minta maaf, tapi kediaman Indra membuat egonya timbul.

          "Ya sudah, aku pamit" ujar Ariani cepat sambil bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya kepada Indra untuk berjabat. Indra menyambut jabatan Ariani tapi tak menggenggamnya. Seperti orang yang terpaksa bersalaman. Ariani terperangah dan melepaskan tangannya, dan beberapa detik, hanya beberapa detik, saat Ariani menarik tangannya Indra menahan tangan Ariani yang sudah hampir terlepas. Namun secepat ia menggenggam, secepat itu pula ia melepaskan.
Beberapa saat tadi Ariani mengira Indra akan mengucapkan kata cinta seperti biasa dan mengatakan bahwa ia masih mencintai Ariani. Tapi Indra tetap diam. Dan Ariani pergi dengan hati hancur

*******

Menggenggam Ranting PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang