awal

740 290 115
                                    

Langit yang seolah tau apa yang saat ini Shaka rasakan, yang awalnya cerah mendadak menggelap, gumpalan awan hitam mulai berkumpul, suara gemuruh mulai terdengar, seolah mewakili perasaan yang Shaka rasakan saat ini, namun tak bisa ia ungkapkan. Berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Suara tangisan terdengar bersahutan, Shaka memang tidak menangis, namun matanya tidak bisa berbohong. Air mata yang menetes tanpa malu membasahi pipi Shaka, bibirnya tertutup rapat.

Mata tajamnya menatap tubuh kembaranya yang telah terbujur kaku di tengah sana, terbungkus rapi dengan kain putih, yang bahkan sangat Shaka hindari.
Bundanya menangis terisak di pelukan Ayah yang menatap kearah nya tegar. Ayah memang tidak menangis, namun raut kosong terlihat di wajahnya, raut wajah dimana seolah kehidupan Ayah tengah menghilang di tengah kegelapan.

Sanak saudara berdatangan, memberikan semangat. Walau Shaka hanya menatap kearah mereka sekilas tanpa mengeluarkan ekspresi apapun.

"Yang sabar Ka." suara seseorang dari belakang nya membuat Shaka tersadar dari lamunan nya.

Melihat Raden berdiri di sebelah nya, dengan pakaian serba hitam. Kerutan sempat muncul di dahi Shaka.
"Bukannya lo ada tugas?" tanya nya.

Raden menyisir rambut nya dengan sela-sela jari. "Sahabat gue lagi butuhin sandaran, lagian orang lain juga bisa ganti in."

Seharusnya hari ini Shaka dengan sang Ayah sudah harus pergi menuju luar kota, melaksanakan tugas yang memang sudah di perintahkan. Merelakan sekolahnya, hanya untuk membantu sang Ayah dalam menyelesaikan pekerjaan nya. Menjadi kaki tangan sang Ayah, itu sebutan tentang dirinya. Membantu Ayahnya menyelesiakan beberapa kasus pembunuhan atau pun buronan yang memang sulit di lakukan oleh pihak kepolisian. Kepintaran dan caranya berfikir dan memecahkan kasus, membuat Ayah memberikannya tanggung jawab ini.

"Tenang Bun, kita masih punya Shaka disini," ucapan Ayah terdengar oleh Shaka yang tiba-tiba saja merasa gugup.

Bunda melepas pelukanya, menatap kearah Ayah nyalang."Anak aku cuma Shakeel, nggak ada yang lain," ucapnya.

Mendengar itu,Shaka menghela nafas kasar. Ia seharusnya tidak perlu berharap lebih dengan apa yang akan Bunda katakan, karena pada akhirnya akan tetap sama. Dia tidak akan pernah terlihat di mata Bundanya. Memilih berjalan pergi, walau kedua tangan nya ingin sekali membawa tubuh Shakeel kedalam pelukannya. Jika boleh jujur, seegois apapun Shaka terhadap dirinya sendiri, ia akan terlihat berbeda saat bersama Shakeel. Walau pun terlihat tidak peduli dengan apa yang Shakeel lalukan, secara diam-diam Shaka menjaga adiknya itu walau dari jauh.

Raden yang melihat Shaka berjalan pergi pun bingung, menoleh kearah kedua orang tua Shaka yang tengah bersedih, atau mengejar Shaka yang lebih dahulu berjalan menuju taman belakang.

Raden tau dengan apa yang sahabatnya rasakan, tau betul malah. Tidak pernah di anggap ada oleh Bundanya.

"Mas."
Baru saja Raden melangkah kan kakinya mengejar Shaka yang sudah lebih dahulu pergi. Seseorang dari belakang nya memanggil lebih dahulu.
Ia berbalik, melihat seorang lelaki dengan balutan pakian serba hitam berdiri tegap di depan nya.

"Ini mas, sesuai perintah," ucapnya dengan memberikan tiga lembar kertas yang sudah di jadikan satu.

Raden mengambilnya, menatap kertas berisi hasil laporan tentang kematian kembaran dari sahabatnya itu.
Matanya menajam, membaca laporan itu berulang-ulang seolah apa yang ia baca membuat nya bingung.

"Lo yakin?" tanya nya kepada lelaki yang masih berdiri didepan nya ini.

Lelaki itu mengangguk dengan pasti, sebelum Raden menyuruhnya pergi. Kali ini tujuan Raden adalah mencari keberadaan Shaka lebih dahulu. Melihat keberadaan Shaka yang tengah duduk ditepi kolam renang dengan kedua kaki yang sengaja ia masukkan kedalam kolam.

"Gue ada informasi buat lo." Raden memilih untuk duduk disebelah sahabatnya, menghiraukan tatapan tajam yang Shaka lontarkan.

Menatap kearah langit yang perlahan mulai menumpahkan air nya, membiarkan tubuhnya basah karena hujan.

"Lo tau kematian Shakeel karena apa?" tanya Raden mengawali pembicaraan.

Hening terjadi, tidak ada jawaban dari Shaka. Lelaki itu masih menatap ke depan dengan pandangan kosong.

"Kecelakaan? Sakit?" ucap nya ragu.

Raden menatap kearahnya dengan mata menyipit, karena air hujan mengenai wajah nya. "Lo nggak tau?" tanya nya heran.

Awalnya Shaka terdiam, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan.
Membuat Raden berdecak melihatnya.
Tidak habis pikir dengan pemikiran Sahabatnya ini. "Shakeel pernah kena depresi berat, apa lo tau?" tanya nya.

Shaka menoleh kearahnya dengan kerutan di dahinya, seolah memberitahu bahwa ia tengah bingung.
"Iya, dari laporan yang anak buah gue dapet, Shakeel pernah depresi berat yang ngebuat dia nggak bisa makan apapun dan berakhir muntah-muntah," jelasnya.

"Gue nggak tau." Jawaban Shaka berhasil membuat kerutan di dahi Raden muncul, menatap kearahnya heran.

"Apa dia nggak pernah pulang?" tanya Raden.

Shaka sempat terdiam."Dia pulang di akhir tahun dan awal semester," jawab nya setelah mencoba mengingat.

"Lo nggak penasaran kenapa dia bisa depresi berat kayak gitu?"

"Ini kali pertama gue denger Shakeel bisa kena depresi, kalau gue sih bakalan kepo banget."

"Soal nya ini Shakeel cuy, anak yang biasanya ngerepotin gue buat minta main bareng, tiba-tiba pulang dengan keadaan kayak gini."

"Kalau lo emang penasaran ya cari tau, karena anak buah gue nggak bisa dapet informasi apapun dari sekolahan Shakeel."

Shaka terdiam mencerna apapun yang Raden katakan, mencoba memikirkan perkataan sahabatnya itu.
"Gue rasa di sana ada rahasia yang nggak semua orang boleh ketahuin, kalau lo emang kepo, cari tau ke tempat nya," ucapnya lagi.

"Dimana-mana rahasia ya nggak boleh di ketahui orang Den," ucapnya.

Raden berdecak pelan."Plis deh Ka, masalahnya ini anak buah gue nggak ada yang bisa tau di dalem sekolahan itu kayak gimana," ucapnya dengan nada sedikit kesal.

"Di TV banyak," ucap Shaka lagi.

Raden mengumpat dalam hati."Sabar Den, anak sabar jodohnya cakep," gumam nya.

Shaka menoleh kearah nya, rasanya Raden ingin memukul wajah sahabatnya itu. Mata yang memerah, pandangan kosong, bahkan wajahnya telah memucat layaknya mayat hidup yang sering ia tonton di film.
"Lo bisa nggak, gak usah liatin gue segitunya ngeri cuy," ucapnya dengan bergidik ngeri.

Sedangkan Shaka, memilih kembali menatap kearah depan menghiraukan omelan Raden yang menurutnya tidak berguna sama sekali.

blacklist - HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang