21. Disekap

950 73 13
                                    

“Seberat apa pun yang kita hadapi, jangan sampai iman yang ada pada diri kita tergoyahkan oleh gangguan itu.”


~ GIVE ME TIME ~

 Jam sembilan malam, pemuda mengenakan seragam putih abu-abu acak-acakan baru tiba di depan rumah besar. Ia tengah berhadapan dengan sosok pria paruh baya mengenakan piyama tidur berwarna putih.

“KAMU PULANG MALAM TERUS, HAH?!"

PLAKK!!!

Pipi Diaz telah berubah menjadi merah karena layangan tangan kekar ayahnya pada pipinya. Diaz menarik salah satu ujung bibirnya.

“Kenapa kalau saya pulang malam? Nggak boleh?” tanya Diaz.

“LIHAT RUMAH INI MASIH PADA BERANTAKAN! INI SEMUA GARA-GARA KAMU PULANG MALAM TERUS!” teriak Prasetya.

Diaz menghela napas. “Saya bukan pembantu di sini. Maaf aja, saya juga memiliki banyak urusan yang tidak bisa saya tinggal.” Rasanya Diaz ingin segera masuk ke dalam kamar, mengistirahatkan tubuhnya yang lemah, tetapi sudah kebiasaan saat pulang ke rumah dirinya berdebat dengan ayahnya.

“KAMU ITU HARUS NURUT SAMA SAYA! Kenapa sih, kamu selalu membantah saya, HAH?!”

Diaz menggeleng. “Saya nggak membantah Anda.”

Prasetya mencengkeram dagu Diaz, kemudian menatapnya tajam. “Heh! Jangan kurang ajar kamu!” Diaz hanya diam. Tubuhnya lemah, pasrah jika Prasetya mau berbuat apa pada dirinya.

Bugh!

Prasetya melayangkan tangannya di perut Diaz, membuat Diaz tergeletak di halaman.

“BESOK NGGAK BOLEH PULANG MALAM!” Diaz menggeleng, menyatakan dirinya menolak permintaan itu.

Prasetya melotot tajam. “BERANI KAMU BANTAH SAYA, HAH?!” Prasetya mencengkeram kerah seragam Diaz.

“Diaz nggak bisa. Diaz ada alasan dan tujuan lakukan semua itu. Yang jelas bukan mabuk atau pun balapan.

BRAKK!!!

Prasetya melempar tubuh Diaz dengan keras ke pagar rumah yang terbuat dari besi. Pemuda itu meringis, punggungnya sakit, kepalanya makin terasa pusing.

Prasetya menarik pergelangan tangan Diaz, membawa pemuda itu masuk ke dalam rumah.

BRAKK!!!

Diaz tersungkur di lantai kamarnya. Pemuda itu hanya bisa meringis. Kondisinya makin melemah.

“Masih mau membantah saya, Diaz Dwi Prasetya?!!!” Diaz diam, membuat Prasetya makin marah besar.

Duagh!

Prasetya menarik lengan Diaz, membenturkan dirinya ke lemari kayu yang menyebabkan kening dan bibir Diaz berdarah. Diaz sudah tak mampu melakukan apa pun. Berbicara saja tak mampu, hanya bisa menatap manik tajam ayahnya.

“KAMU KENAPA NGGAK PERNAH JADI ANAK YANG NURUT, HAH?! KENAPA KAMU NGGAK PERNAH BELAJAR DARI DIRGA?! KAMU SELALU SAJA BERSIKAP SEMAUMU DAN SEENAKMU SAJA, DIAZ! SAYA MENYESAL PUNYA ANAK SEPERTI KAMU!!!!!!” Kata-kata itu sungguh membuat hati Diaz perih. Bagaimana bisa ayahnya yang membuatnya ada di dunia ini mengatakan menyesal punya anak seperti dirinya? Kalau bisa memilih, Diaz tidak mau dilahirkan di dunia ini saja.

“BANGUN KAMU!” Prasetya menarik paksa tubuh Diaz dengan kasar.

Bugh!

Bugh!

GIVE ME TIME [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang