Refleksi : Winter

1K 173 20
                                    

" Hei.. Soal Winter... "

" Oh, kamu sudah menyadarinya, ya. Winter juga bayangan. " balas Taeil tepat pada pointnya.

Ternyata Winter sudah meninggal 10 tahun silam karena sakit. Bayangannya perlahan mulai memudar saat ini, mengingat bayangan hanya bertahan kurang lebih 20 tahun. Masih tersisa 10 tahun lagi untuk Winter bisa bersama keluarganya di dunia.

Di sisi lain. Di ruangan dengan pencahayaan lampu di langit - langit. Winter tengah menidurkan dirinya dengan paha Ibu sebagai bantal.

" Emm, Ibu. " panggil gadis itu pelan. Ibu sedari tadi mengusap kepala putrinya dengan lembut. " Apa Winter? " tanyanya ingin tahu.

" Jangan marah dengan Kak Doyoung, ya? "

" Dia istri yang sangat baik. " ucap Winter seraya memuji Doyoung. Ia tidak ingin ada perselisihan diantara keluarganya.

Mendengar hal itu, Ibu lantas menjawab. " Ibu tahu itu, tapi... "

" Aku menyayangi Ibu. " sela Winter sebelum sang Ibu melanjutkan perkataannya. " Aku ingin bersama Ibu selamanya. "

Mata Winter yang awalnya terpejam kini terbuka. Ia menatap wajah Ibunya dengan penuh binar. " Aku takkan menikah. Boleh kan, Bu? "

" Ya, tentu boleh. Kamy selamanya boleh bersama Ibu. " lensa mata wanita penuh kerutan itu bergetar tak tertahan. Perlahan genangan air mata mulai memenuhi pandangannya. Hingga pada akhirnya air itu pun jatuh, menembus kulit Winter yang memang sudah transparan.

•••

Doyoung's pov

Beberapa bulan berlalu. Nenek canggah, Bibi dan Paman buyutnya pun menghilang. Tak lupa, Kakek dan Nenek buyut juga mulai terlihat kabur sekarang. Baru - baru ini ada anggota keluarga lain yang meninggal, aku pun turut serta dalam upacara pemanggilan bayangan. Aku sudah melakukannya beberapa kali.

Aku berusaha melakukan yang terbaik sebagai bagian dari keluarga Moon.

Tapi meski sudah 8 tahun kami; aku dan Taeil menikah, keluarga suamiku tetap dingin kepadaku.

Kupikir aku belun cukup berusaha, aku pun lebih berusaha untuk memenangkan hati mereka.

Suatu pagi, aku menemuka bahwa bekal makan siang suamiku tertinggal. Dengan segera aku menyusul Taeil yang baru saja pergi dengan bekal di tangan serta apron putih yang masih melekat pada tubuhku.

Aku berlari, meneriaki Taeil yang tak jauh dari pandanganku. " Sayang! Bekalmu.. " namun kakiku perlahan mulai terdiam. Ku lihat suamiku dihampiri seorang perempuan di dekat tiang listrik. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan mungkin.. dekat?

" Taeil.. " panggil wanita itu kemudian merengkub lengan suamiku mesra. Taeil nampak tak keberatan, " Kupikir kita akan bertemu di stasiun. " katanya.

" Habisnya, aku ingin cepat bertemu denganmu! " wanita tersebut berujar mesra. Aku di belakang, jauh di balik punggung mereka hanya bisa terdiam. Kotak bekal yang awalnya ku genggam dengan erat, tanpa ku sadari sudah jatuh lepas dari tanganku.

Malamnya, aku menemui Taeil di kamar kami. Aku ingin membahas masalah pagi tadi bersamanya dan hanya berdua.

" Tadi pagi itu yang sekantor denganmu, kan? " ku awali perbincangan ini dengan pertanyaan.

" Kalian menjalin hubungan, kan? " tanpa lama - lama, ku lempar langsung isi pikiran sekaligus hatiku yang butuh jawaban.

Taeil di hadapanku enggan menatap, ia hanya diam dan memalingkan wajah. " Ya. " jawabnya singkat dan dingin.

Sudah kuduga, " Jadi.. apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? " tanya Doyoung lagi.

" Selanjutnya, aku berniat menikahinya. "

Seketika amarahku meluap, " Tidak! " tubuhku bangkit dari duduk. " Aku tidak mau dicerai! " ku coba mempertahankan rumah tanggaku yang sudah berlangsung hampir 10 tahun ini seperti orang bodoh.

Taeil yang semulanya berpaling, kini mengarahkan sorot matanya kepadaku. " Doyoung, jangan cemas. Aku tak akan menceraikanmu, aku akan tetap bertanggung jawab. " ujarnya dengan enteng seperti bisa melakukan apapun sesuka hatinya.

" Itu sudah kewajibanku untuk— "

" Apa yang kamu bicarakan?! " intonasiku mulai meninggi. Aku sungguh tak percaya dengan apa yang barusa ku dengar. " Bagaimana bisa kamu menikahinya tanpa menceraikanku?! "

Ku lirik ponsel yang tergeletak di samping kaki suamiku, dengan segera aku mengambilnya. " Akan aku bicarakan ini dengan dia! "

" Hentikan! " Taeil menghalangiku. Ia memegang tanganku untuk berhenti, segera aku lepaskan tangannya dari pergelanganku. " Lepaskan! "

" Kubilang hentikan! "

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi tirusku hingga aku tersungkur.

" M-maaf Doyoung.. " sesal Taeil seketika. Aku mendongak ke arahnya, memegang pipi yang panas dan perih.

" Maaf, selama ini aku tidak mengatakannya.. "

Aku terdiam, otakku tidak dapat menangkap apa sebenarnya maksud dari perkataan Taeil barusan. " eh? "

" 10 tahun lalu.. "

Doyoung's pov end

•••

ehek

refleksi ⚝ ilyoung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang